Materi Sejarah Indonesia Kelas 11 Bab 7 Revolusi Menegakkan Panji-Panji NKRI: Tantangan Awal Kemerdekaan (Sejarah Indonesia Kelas XI SMA/MA/SMK/MAK)

0

Materi Sejarah Indonesia Kelas 11 Bab 7 Revolusi Menegakkan Panji-Panji NKRI: Tantangan Awal Kemerdekaan (Sejarah Indonesia Kelas XI SMA/MA/SMK/MAK). Pembaca Readklikshare, berikut ini adalah materi Sejarah Indonesia Kelas 11 SMA/MA/SMK/MAK semester 2 (semester genap) Bab VII. Revolusi Menegakkan Panji-Panji NKRI.

Sejarah Indonesia Kelas XI Bab 7 Revolusi Menegakkan Panji-Panji NKRI: Tantangan Awal Kemerdekaan


Pada Bab 7 ini meliputi beberapa sub judul pembahasan. Kali ini kami posting pembahasan tentang:

1. Kondisi Awal Indonesia Merdeka

2. Kedatangan Sekutu dan Belanda

3. Merdeka atau Mati


Untuk memudahkan Anda dalam belajar, kami buatkan Daftar Isi Pembahasannya. Jika ingin loncat menuju materi yang dikehendaki, tinggal klik atau pencet saja judul pada Daftar Isi berikut ini cukup dengan Klik: Show


Revolusi Menegakkan Panji-Panji NKRI: Tantangan Awal Kemerdekaan

Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 bukan titik akhir perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan. Belanda 

yang telah ratusan tahun merasakan kekayaan Indonesia enggan mengakui kemerdekaan Indonesia. Sekutu yang telah memenangkan Perang Dunia II merasa memiliki hak atas nasib bangsa Indonesia. Belanda mencoba masuk kembali ke Indonesia dan menancapkan kolonialisme dan imperialismenya.


Sementara kondisi sosial ekonomi Indonesia masih sangat memprihatinkan, perangkat-perangkat kenegaraan juga baru dibentuk, Indonesia ibarat bayi baru lahir masih lemah, tetapi merdeka adalah harga mati. Berbagai upaya bangsa asing untuk menguasai kembali bangsa Indonesia ditentang dengan 

berbagai cara. Pertempuran heroik dengan korban ribuan jiwa terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Tidak terhitung dengan jelas berapa jumlah korban jiwa dari pertempuran mempertahankan bangsa Indonesia tersebut, bahkan banyak pahlawan tidak dikenal yang berguguran. Nah, bagaimana kondisi awal Indonesia merdeka dan bagaimana proses perjuangan bangsa Indonesia berikutnya?


Kondisi Awal Indonesia Merdeka 


Secara politis keadaan Indonesia pada awal kemerdekaan belum begitu mapan. Ketegangan, kekacauan, dan berbagai insiden masih terus terjadi. 


Hal ini tidak lain karena masih ada kekuatan asing yang tidak rela kalau Indonesia merdeka. Sebagai contoh rakyat Indonesia masih harus bentrok dengan sisa-sisa kekuatan Jepang. Jepang beralasan bahwa ia diminta oleh Sekutu agar tetap menjaga Indonesia dalam keadaan status quo. Di samping menghadapi kekuatan Jepang, bangsa Indonesia harus berhadapan dengan tentara Inggris atas nama Sekutu, dan juga Belanda atau NICA (Netherlands Indies Civil Administration) yang berhasil datang kembali ke Indonesia dengan membonceng Sekutu. Pemerintahan memang telah terbentuk, beberapa alat kelengkapan negara juga sudah tersedia, tetapi karena baru awal kemerdekaan tentu masih banyak kekurangan. PPKI yang keanggotaannya sudah disempurnakan berhasil mengadakan sidang untuk mengesahkan UUD dan memilih Presiden-Wakil Presiden. Bahkan, untuk menjaga keamanan negara juga telah dibentuk TNI.


Kondisi perekonomian negara masih sangat memprihatinkan sehingga terjadi inflasi yang cukup berat. Hal ini dipicu karena peredaran mata uang rupiah Jepang yang tak terkendali, sementara nilai tukarnya sangat rendah. 


Permerintah RI sendiri tidak bisa melarang beredarnya mata uang tersebut, mengingat Indonesia sendiri belum memiliki mata uang sendiri. Sementara kas pemerintah kosong, waktu itu berlaku tiga jenis mata uang, yaitu De Javasche Bank, uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang rupiah Jepang. Bahkan, setelah NICA datang ke Indonesia juga memberlakukan mata uang NICA. Kondisi perekonomian ini semakin parah karena adanya blokade yang dilakukan NICA. Belanda juga terus memberi tekanan dan teror terhadap pemerintah Indonesia. Inilah yang menyebabkan Jakarta semakin kacau sehingga pada tanggal 4 Januari 1946 Ibu Kota RI pindah ke Yogyakarta. Kemudian untuk mengatasi keadaan keuangan, pada 1 Oktober 1946 Indonesia mengeluarkan uang RI yang disebut ORI (Oeang Republik Indonesia). Sementara itu uang NICA dinyatakan sebagai alat tukar yang tidak sah. 


Struktur kehidupan masyarakat mulai mengalami perubahan, tidak ada lagi diskriminasi. Semua memiliki hak dan kewajiban 

yang sama. Sementara dalam hal 

pendidikan, pemerintah mulai 

menyelenggarakan pendidikan 

yang diselaraskan dengan 

alam kemerdekaan. Menteri 

Pendidikan dan Pengajaran juga 

sudah diangkat. Kamu tahu 

siapa Menteri Pendidikan dan 

Pengajaran yang pertama di 

Indonesia?


Kedatangan Sekutu dan Belanda

Tentu kamu masih ingat bagaimana Jepang menyerah kepada Sekutu. 

Penyerahan Jepang kepada Sekutu tanpa syarat tanggal 14 Agustus 1945 

membuat analogi bahwa Sekutu memiliki hak atas kekuasaan Jepang di 

berbagai wilayah, terutama wilayah yang sebelumnya merupakan jajahan 

negara-negara yang masuk dalam Sekutu. Belanda adalah salah satu negara 

yang berada di kelompok Sekutu. Apakah kamu masih ingat bagaimana 

Belanda saat kalah dan menyerahkan kekuasaan kepada Jepang? Apakah 

Belanda kembali ke tanah airnya? Setelah Belanda kalah dengan Jepang, 

mereka melarikan diri ke Australia. 


Bagaimana kondisi Indonesia setelah Jepang menyerah tanpa syarat 

kepada Sekutu? Bagi Sekutu dan Belanda, Indonesia dalam masa vacum of 

power atau kekosongan pemerintahan. Karena itu, logika Belanda adalah 

kembali berkuasa atas Indonesia seperti sebelum Indonesia direbut Jepang. 

Dengan kata lain, Belanda ingin menjajah kembali Indonesia. Bagi Sekutu, 

setelah selesai PD II, maka negara-negara bekas jajahan Jepang merupakan 

tanggung jawab Sekutu. Sekutu memiliki tanggung jawab perlucutan senjata 

tentara Jepang, memulangkan tentara Jepang, dan melakukan normalisasi 

kondisi bekas jajahan Jepang? Bayangan Belanda tentang Indonesia jauh 

dari kenyataan. Faktanya, rakyat Indonesia telah memproklamasikan 

kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Kondisi ini tentu bertolak 

belakang dengan bayangan Belanda dan Sekutu. Karena itu, dapat diprediksi 

kejadian berikutnya, yakni akan terjadi pertentangan atau konflik antara 

Indonesia dengan Sekutu ataupun Belanda.


Bagaimana dampak kedatangan Sekutu ke Indonesia? Sekutu masuk 

ke Indonesia diboncengi NICA. Mereka masuk melalui beberapa pintu 

wilayah Indonesia terutama daerah yang merupakan pusat pemerintahan 

pendudukan Jepang seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya. Setelah PD II, 

terjadi perundingan Belanda dengan Inggris di London yang menghasilkan 

Civil Affairs Agreement. Isinya tentang pengaturan penyerahan kembali 

Indonesia dari pihak Inggris kepada Belanda, khusus yang menyangkut 

daerah Sumatra sebagai daerah yang berada di bawah pengawasan SEAC 

(South East Asia Command). Di dalam perundingan itu dijelaskan langkah-langkah yang ditempuh sebagai berikut. 


a. Fase pertama, tentara Sekutu akan mengadakan operasi militer untuk 

memulihkan keamanan dan ketertiban.

b. Fase kedua, setelah keadaan normal pejabat-pejabat NICA akan 

mengambil alih tanggung jawab koloni itu dari pihak Inggris yang 

mewakili Sekutu.

Setelah diketahui Jepang menyerah pada tanggal 15 Agustus 1945, maka 

Belanda mendesak Inggris agar segera mensahkan hasil perundingan tersebut. 

Pada tanggal 24 Agustus 1945 hasil perundingan tersebut disahkan. 

Berdasarkan Persetujuan Potsdam, isi Civil Affairs Agreement diperluas. 

Inggris bertanggung jawab untuk seluruh Indonesia termasuk daerah yang 

berada di bawah pengawasan SWPAC (South West Pasific Areas Command). 

Untuk melaksanakan isi Perjanjian Potsdam, maka pihak SWPAC di bawah 

Lord Louis Mountbatten di Singapura segera mengatur pendaratan tentara 

Sekutu di Indonesia. Kemudian pada tanggal 16 September 1945, wakil 

Mountbatten, yakni Laksamana Muda WR Patterson dengan menumpang 

Kapal Cumberland, mendarat di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Dalam 

rombongan Patterson ikut serta Van Der Plass seorang Belanda yang mewakili 

H.J. Van Mook (Pemimpin NICA). 

»

Pada saat perundingan antara Belanda dan Inggris di London, 

Parlemen Inggris telah memutuskan kepada Pemerintah Inggris 

untuk tidak menggunakan pasukannya 

untuk membantu pihak lain selain untuk 

melaksanakan tugas Sekutu.

Setelah informasi dan persiapan dipandang 

cukup, maka Louis Mountbatten membentuk 

pasukan komando khusus yang disebut AFNEI 

(Allied Forces Netherlands East Indiers) di bawah 

pimpinan Letnan Jenderal Sir Philip Christison. 

Mereka tergabung di dalam pasukan tentara 

Inggris yang berkebangsaan India, yang sering 

disebut sebagai tentara Gurkha. Tugas tentara 

AFNEI sebagai berikut. 


a. menerima penyerahan kekuasaan tentara Jepang tanpa syarat.

b. membebaskan para tawanan perang dan interniran Sekutu;

c. melucuti dan mengumpulkan orang-orang Jepang untuk dipulangkan 

ke negerinya;

d. menegakkan dan mempertahankan keadaan damai, menciptakan 

ketertiban, dan keamanan, untuk kemudian diserahkan kepada 

pemerintahan sipil; dan

e. mengumpulkan keterangan tentang penjahat perang untuk kemudian 

diadili sesuai hukum yang berlaku.

Pasukan Sekutu yang tergabung dalam AFNEI mendarat di Jakarta pada 

tanggal 29 September 1945. Kekuatan pasukan AFNEI dibagi menjadi tiga 

divisi, yaitu sebagai berikut. 

a. Divisi India 23 di bawah pimpinan Jenderal D.C Hawthorn. Daerah 

tugasnya di Jawa bagian barat dan berpusat di Jakarta.

b. Divisi India 5 di bawah komando Jenderal E.C Mansergh bertugas di 

Jawa bagian timur dan berpusat di Surabaya.

c. Divisi India 26 di bawah komando Jenderal H.M Chambers, bertugas di 

Sumatra, pusatnya ada di Medan.

Kedatangan tentara Sekutu diboncengi NICA yang akan menegakkan 

kembali kekuatannya di Indonesia. Hal ini menimbulkan kecurigaan terhadap 

Sekutu dan bersikap anti Belanda. 

Sementara Christison sebagai pemimpin AFNEI menyadari bahwa untuk 

menjalankan tugasnya tidak mungkin tanpa bantuan pemerintah RI. Oleh 

karena itu, Christison bersedia berunding dengan pemerintah RI. Selanjutnya, 

Christison pada tanggal 1 Oktober 1945 mengeluarkan pernyataan 

pengakuan secara de facto tentang negara Indonesia. Namun, dalam 

kenyataannya pernyataan tersebut banyak dilanggarnya. Sebagai bukti akan 

kita lihat dalam kajian di berikut ini.


Merdeka atau Mati

Kedatangan Sekutu di Indonesia menimbulkan berbagai reaksi dari masyarakat 

Indonesia. Apalagi dengan memboncengnya Belanda yang ingin menguasai 

kembali Indonesia. Hal ini mengakibatkan berbagai upaya penentangan 

dan perlawanan dari masyarakat. Bagaimana peristiwa kekerasan akibat 

kedatangan Sekutu di Indonesia terjadi? Mari kita simak kajian di bawah ini.

a. Perjuangan rakyat Semarang dalam melawan tentara Jepang

Berita proklamasi terus menyebar ke penjuru tanah air. Pemindahan 

kekuasaan dari pendudukan Jepang ke Indonesia juga terus dilakukan. 

Pada tanggal 19 Agustus 1945, sekitar pukul 13.00 WIB berkumandang 

lewat radio tentang sebuah pernyataan dan perintah agar pemindahan 

kekuasaan dari tangan Jepang ke pihak Indonesia terus dilakukan. Hal ini 

semakin membakar semangat para pemuda Semarang dan sekitarnya untuk 

melakukan perebutan kekuasaan.


Bahkan Wongsonegoro selaku pimpinan pemerintahan di Semarang 

mengeluarkan pernyataan atau perintah sebagai berikut.

Berdasarkan atas pengumuman-pengumuman Panitia Persiapan Kemerdekaan 

Indonesia dan Komite Nasional di Jakarta, maka dengan ini kami atas nama 

rakyat Indonesia mengumumkan sementara aturan-aturan pernerintahan 

untuk menjaga keamanan umum di daerah Semarang.

1.

Mulai hari ini tanggal 19 Agustus 1945 jam 13.00 Permerintah RI 

untuk daerah Semarang mulai berlaku.

2.

Terhadap segala perbuatan yang menentang pemerintah RI akan 

diambil tindakan yang keras.

3.

Senjata api, kecuali yang di tangan mereka yang berhak memakainya 

harus diserahkan kepada polisi.

4.

Hanya bendera Indonesia Merah Putih boleh berkibar.

5.

Terhadap segala perbuatan yang mengganggu ketenteraman dan 

kesejahteraan umum diambil tindakan keras.

6.

Selanjutnya semua penduduk hendaknya melakukan pekerjaannya 

sehari-hari sebagaimana biasa.

Semarang, 19 Agustus 1945

Kepala Pemerintahan RI Daerah Semarang

Wongsonegoro

Suasana di Semarang semakin panas. Jepang tidak menghiraukan seruan 

pemerintahan di Semarang. Pada tanggal 7 Oktober 1945, ribuan pemuda 

Semarang mengerumuni tangsi tentara Jepang, Kedobutai di Jatingaleh. 

Sementara pimpinan mereka sedang berunding di dalam tangsi untuk 

membahas mengenai penyerahan senjata. Perundingan itu berjalan tersendat￾sendat, tetapi akhirnya disepakati penyerahan senjata secara bertahap.

Ketegangan antara kedua belah pihak terus berlanjut. Pada tanggal 14 

Oktober 1945, sekitar 400 orang tawanan Jepang dari pabrik gula Cepiring 

diangkut oleh para pemuda ke penjara Bulu, Semarang. Dalam perjalanan, 

sebagian dari para tawanan berhasil melarikan diri dan minta perlindungan 

kepada batalion Kedobutai. Oleh karena itu, tanpa menunggu perintah, 

para pemuda segera menyerang dan melakukan perebutan senjata terhadap 

Jepang. Terjadilah pertempuran sengit antara rakyat Indonesia melawan 

pasukan Jepang. Pertempuran ini dikenal dengan Pertempuran Lima Hari di 

Semarang.


Pada tanggal 14 Oktober 1945, pada petang harinya, petugas kepolisian 

Indonesia yang menjaga persediaan air minum di Wungkal diserang oleh 

pasukan Jepang. Mereka dilucuti dan disiksa di tangsi Kedobutai Jatingaleh. 

Kemudian, di jalan Peterongan terdengar kabar bahwa air ledeng di Candi 

telah diracuni oleh Jepang. Oleh karena rakyat menjadi gelisah, dr. Kariadi, 

kepala laboratorium dinas Purusara Semarang ingin mengecek persediaan 

air tersebut namun ia dibunuh oleh tentara Jepang. Hal ini telah menambah 

sengitnya pertempuran antara para pemuda melawan tentara Jepang. 

Para pemuda berhasil menangkap Mayor Jenderal Nakamura di kediamannya, 

di Magelang. Tokoh Jepang ini ditahan oleh para pemuda. Hal ini semakin 

meningkatkan kemarahan Jepang. Pada hari kedua dan ketiga Jepang 

berusaha dapat menguasai daerah Semarang kembali. 

Dalam pertempuran itu Jepang membagi pasukannya menjadi tiga kekuatan 

sebagai berikut. 

a.

Poros Barat, sasarannya penduduk markas Kempetai di Karangasem 

yang telah dikuasai para pemuda. Selain itu, juga untuk menghambat 

gerakan bantuan pasukan dari Pekalongan dan Kendal.

b.

Poros Tengah, dengan sasaran menguasai markas AMRI di Hotel Du 

Pavillon.

c.

Poros Timur, dengan sasaran menduduki Sekolah Teknik dan mencegah 

datangnya bantuan BKR dari Demak, Pati, dan Rembang. Sementara 

itu, dari pihak Indonesia telah datang bantuan dari berbagai penjuru, 

baik dari arah Barat (Kendal dan Weleri), juga dari Timur, seperti dari 

Demak, Kudus, Pati, Purwodadi, bahkan dari Selatan seperti dari Solo, 

Magelang, dan Yogyakarta.

Tanggal 17 Oktober 1945, tercapai suatu perundingan mengenai gencatan 

senjata yang diadakan di Candi Baru. Pihak Indonesia juga menyetujui 

perundingan tersebut. Sekalipun telah disepakati adanya gencatan senjata, 

ternyata Jepang masih melanjutkan pertempuran. Pada tanggal 18 Oktober 

1945 (hari kelima), Jepang berhasil mematahkan berbagai serangan para 

pemuda. Pada hari itu, telah datang beberapa utusan pemerintah pusat dari 

Jakarta untuk merundingkan soal keamanan dan perdamaian di Semarang. 

Beberapa tokoh yang hadir dari Jakarta waktu itu, antara lain Kasman 

Singodimejo dan Sartono. Pihak Jepang yang hadir, antara lain Jenderal 

Nakamura. Kemudian, dilanjutkan perundingan untuk mengatur gencatan 

senjata. Nakamura mengancam akan mengebom kota Semarang, apabila para pemuda tidak mau menyerahkan senjata paling lambat tanggal 19 

Oktober 1945 pukul 10.00. Wongsonegoro terpaksa menyetujui dengan 

membubuhkan tanda tangan pada perjanjian itu. 

Pada tanggal 19 Oktober 1945 pagi hari, belum ada tanda-tanda semua 

senjata akan diserahkan kembali kepada Jepang. Sementara Jepang telah 

bersiap-siap untuk membumihanguskan kota Semarang. Tiba-tiba pukul 

07.45 terpetik berita bahwa tentara Sekutu mendarat di Pelabuhan Semarang 

dengan menumpang kapal HMS Glenry. Mereka terdiri atas pasukan Inggris, 

termasuk tentara Gurkha. Mereka bertugas untuk melucuti tentara Jepang. 

Dengan kedatangan tentara Sekutu, berarti telah mempercepat berakhirnya 

pertempuran antara pejuang Semarang dengan tentara Jepang. Untuk 

mengenang pertempuran Lima Hari di Semarang ini, maka dibangun sebuah 

monumen yang terkenal dengan sebutan Tugu Muda.

b. Pengambilalihan Kekuasaan Jepang di Yogyakarta 

Di Yogyakarta, perebutan kekuasaan secara serentak dimulai pada tanggal 

26 September 1945. Sejak pukul 10 pagi, semua pegawai instansi pemerintah 

dan perusahaan-perusahaan yang dikuasai oleh Jepang mengadakan aksi 

pemogokan. Mereka memaksa orang-orang Jepang agar menyerahkan 

semua kantor mereka kepada orang Indonesia. Pada tanggal 27 September 

1945, KNI Daerah Yogyakarta mengumumkan bahwa kekuasaan di daerah 

itu telah berada di tangan Pemerintahan RI. 

Kepala Daerah Yogyakarta yang dijabat oleh Jepang (Cokan) harus 

meninggalkan kantornya di jalan Malioboro. Tanggal 5 Oktober 1945, 

gedung Cokan Kantai berhasil direbut dan kemudian dijadikan sebagai 

kantor Komite Nasional Indonesia Daerah. Gedung Cokan Kantai kemudian 

dikenal dengan Gedung Nasional atau Gedung Agung. 

Satu hari setelah perebutan gedung Cokan Kantai, para pejuang Yogyakarta 

ingin melakukan perebutan senjata dan markas Osha Butai di Kotabaru. 

Rakyat dan para pemuda terus mengepung markas Osha Butai di Kotabaru. 

Rakyat dan para pemuda terdiri dari berbagai kesatuan, antara lain TKR, 

Polisi Istimewa, dan BPU (Barisan Penjagaan Umum) sudah bertekad untuk 

menyerbu markas Jepang di Kotabaru. 


Sekitar pukul 03.00 WIB tanggal 7 Oktober 1945, terjadilah pertempuran 

antara rakyat, pemuda, dan kesatuan dengan tentara Jepang di Yogyakarta. 

Butaico Pingit segera menghubungi TKR dan menyatakan menyerah, dengan 

jaminan anak buahnya tidak disiksa. Hal ini diterima baik oleh TKR. Kemudian, 

TKR meminta agar Butaico Pingit dapat mempengaruhi Butaico Kotabaru 

untuk menyerah. Ternyata Butaico menolak untuk menyerah. Akibatnya 

serangan para pejuang Indonesia semakin ditingkatkan. 

Akhirnya pada tanggal 7 Oktober 1945 sekitar pukul 10.00, markas 

Jepang di Kotabaru secara resmi diserahkan ke tangan Yogyakarta. Dalam 

pertempuran itu, pihak Indonesia yang gugur 21 orang dan 32 orang luka￾luka. Sedangkan dari pihak Jepang, 9 orang tewas dan 15 orang luka-luka. 

Setelah markas Kotabaru jatuh, usaha perebutan kekuasaan meluas. R.P. 

Sudarsono kemudian memimpin perlucutan senjata Kaigun di Maguwo. 

Dengan berakhirnya pertempuran Kotabaru dan dikuasainya Maguwo, maka 

Yogyakarta berada di bawah kekuasaan RI.

c. Arek-arek Surabaya untuk Indonesia 

Perhatikan gambar tokoh 

pahlawan berikut ini! Apakah 

kamu mengenal tokoh tersebut? 

Beliau bernama Bung Tomo, 

terkenal karena perjuangannya 

dalam pertempuran Surabaya 

pada tahun 1945. Pertempuran 

rakyat Surabaya dengan Sekutu 

terjadi pada tahun 1945 tersebut, 

menyebabkan ribuan rakyat yang 

gugur. Karena itulah bangsa 

Indonesia menetapkan tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan.


Semangat tempur arek-arek Surabaya dalam melawan pasukan Sekutu, tidak 

dapat dilepaskan dari kemenangannya melawan kekuatan Jepang di Surabaya dan 

sekitarnya. Arek-arek Surabaya berhasil menyerbu dan menguasai markas Kempetai 

yang terletak di depan Kantor Gubernur Surabaya. Semua senjata Kempetai Jepang 

dilucuti. Pertempuran meluas ke Markas Angkatan Laut Jepang di Embong Wungu. 

Markas Jepang ini juga berhasil dikuasai para pejuang. Gudang peluru di Kedung 

Cowek juga berhasil direbut oleh arek-arek Surabaya. Pertempuran perebutan 

kekuasaan terhadap Jepang ini berakhir setelah komandan Angkatan Darat Jepang 

Jenderal Iwabe menyerah dan menyusul komandan Angkatan Laut Laksamana 

Shibata. Semua kapal perang dan senjata serta pangkalannya diserahkan kepada 

pejuang Indonesia.


Pada tanggal 25 Oktober 1945, 

Brigade 49 di bawah pimpinan Brigadir 

Jenderal A.W.S. Mallaby mendarat di 

Surabaya. Brigade ini adalah bagian 

dari Divisi India ke-23, di bawah 

pimpinan Jenderal D.C. Hawthorn. 

Mereka mendapat tugas dari panglima 

Allied forces for Netherlands East 

Indies (AFNEI) untuk melucuti serdadu 

Jepang dan menyelamatkan para 

interniran Sekutu. Kedatangan mereka 

diterima oleh pemimpin pemerintah 

Jawa Timur, Gubernur Suryo. Setelah 

diadakan pertemuan antara wakil-wakil 

pemerintah RI dengan Mallaby, maka 

dihasilkan kesepakatan sebagai berikut. 

1)

Inggris berjanji bahwa di antara tentara mereka tidak terdapat 

Angkatan Perang Belanda.

2)

Disetujui kerja sama antara kedua belah pihak untuk menjamin 

keamanan dan ketentraman.

3)

Akan segera dibentuk “Kontak Biro” agar kerja sama dapat terlaksana 

sebaik-baiknya.

4)

Inggris hanya akan melucuti senjata Jepang saja.


Namun, pada perkembangan selanjutnya, ternyata pihak Inggris mengingkari 

janjinya. Pada malam hari tanggal 26 Oktober 1945, peleton dari Field 

Security Section di bawah pimpinan Kapten Shaw, melakukan penyergapan 

ke penjara Kalisosok. Mereka akan membebaskan Kolonel Huiyer—seorang 

Kolonel Angkatan Laut Belanda—beserta kawan-kawannya. Tindakan Inggris 

dilanjutkan pada keesokan harinya dengan menduduki Pangkalan Udara 

Tanjung Perak, Kantor Pos Besar, Gedung Internatio, dan objek-objek vital 

lainnya. 

Pada tanggal 27 Oktober 1945, terjadi kontak senjata yang pertama antara 

pemuda Indonesia dengan pasukan Inggris. Kontak senjata itu meluas 

sehingga terjadi pertempuran pada tanggal 28, 29, dan 30 Oktober 1945. 

Dalam pertempuran itu, pasukan Sekutu dapat dipukul mundur, bahkan 

hampir dapat dihancurkan oleh pasukan Indonesia. Beberapa objek vital 

yang telah dikuasai oleh pihak Inggris berhasil direbut kembali oleh rakyat.

Melihat kenyataan seperti itu, komandan pasukan Sekutu menghubungi 

Presiden Sukarno untuk mendamaikan perselisihan antara para pejuang 

Indonesia dengan pasukan Sekutu (Inggris) di Surabaya. Pada tanggal 30 

Oktober 1945, Bung Karno, Bung Hatta, dan Amir Syarifuddin datang ke 

Surabaya untuk mendamaikan perselisihan itu. Perdamaian berhasil dicapai 

dan ditandatangani oleh kedua belah pihak. Salah satu kesepakatannya 

adalah untuk menjaga keamanan di Surabaya dan sekitarnya. Karena dirasa 

perlu terus dilakukan komunikasi antara kedua pihak, maka dibentuklah 

Kontak Biro yang anggotanya tokoh-tokoh dari Indonesia seperti Residen 

Sudirman, Dul Arnawa dan Sungkana, sedangkan dari pihak Inggris antara 

lain Mallaby dan Shaw. Namun, setelah Sukarno, Hatta, dan Amir Syarifuddin 

beserta Hawthorn kembali ke Jakarta, ternyata masih terjadi pertempuran di 

beberapa tempat. 

Pada tanggal 30 Oktober 1945, dengan berkendaraan beberapa mobil, 

para anggota Kontak Biro berusaha menuju gedung Internatio yang masih 

terjadi kontak senjata. Pada saat itu, gedung ini diduduki oleh tentara 

Inggris. Arek-arek Surabaya mengepung gedung itu dan menuntut agar 

gedung itu dikosongkan. Kedatangan Kontak Biro yang di dalamnya ada 

Mallaby itu, membuat arek-arek Surabaya menuntut agar Mallaby dan 

tentara Inggris menyerah. Kebetulan hari itu sudah mulai gelap. Ketika itu 

rombongan Mallaby sedang berada di tempat perhentian trem listrik yang 

terletak beberapa belas meter sebelah utara Jembatan meledak, waktu itu kira-kira pukul 20.30. Ternyata mobil yang ditumpangi Mallaby meledak 

dan ditemukan Mallaby tewas. Tewasnya Brigjen Mallaby ini memancing 

kemarahan pasukan Inggris. Pada tanggal 9 November 1945, Mayjen E.C. 

Mansergh, sebagai pengganti Mallaby mengeluarkan ultimatum agar pihak 

Indonesia di Surabaya meletakkan senjata selambat-lambatnya jam 06.00 

tanggal 10 November 1945. 
Inggris mengeluarkan ultimatum yang berisi ancaman bahwa pihak Inggris akan menggempur kota Surabaya dari Darat, 

Laut, dan Udara, apabila orang-orang Indonesia tidak mau menaati ultimatum 

itu. Inggris juga mengeluarkan instruksi yang isinya “………semua pemimpin 

bangsa Indonesia dari semua pihak di kota Surabaya harus datang selambat￾lambatnya tanggal 10 November 1945 pukul 06.00 pada tempat yang telah 

ditentukan dan membawa bendera merah putih dengan diletakkan di atas 

tanah pada jarak 100 m dari tempat berdiri, lalu mengangkat tangan tanda 

menyerah.”

Akhirnya pertempuran berkobar di Surabaya. Inggris mengerahkan semua 

kekuatan yang dimilikinya. Pada tanggal 10 November 1945, terjadi 

pertempuran sengit di Surabaya. Salah satu tokoh pemuda, yaitu Sutomo (Bung Tomo) telah mendirikan Radio Pemberontakan untuk mengobarkan 

semangat juang arek-arek Surabaya. Pada saat terjadi pertempuran di 

Surabaya, Bung Tomo berhasil memimpin dan mengendalikan kekuatan 

rakyat melalui pidato-pidatonya. Di dalam pidatonya melalui radio yang 

begitu berapi-api dan selalu dimulai dan diakhiri dengan teriakan takbir, 

“Allahu Akbar”. Tokoh lain, misalnya Ktut Tantri, yakni wanita Amerika 

yang juga aktif dalam mengumandangkan pidato-pidato revolusinya dalam 

bahasa Inggris melalui Radio Pemberontakan Bung Tomo. 

Sungkono sebagai Komandan Pertahanan Kota, pada tanggal 9 November 

1945 pukul 17.00 mengundang semua unsur kekuatan rakyat, yang terdiri 

dari Komandan TKR, PRI, BPRI, Tentara Pelajar, Polisi Istimewa, BBI, PTKR, dan 

TKR Laut untuk berkumpul di Markas Pregolan 4. 

Kota Surabaya dibagi dalam 3 sektor pertahanan, yaitu Sektor Barat, 

Tengah dan Timur. Sektor Barat dipimpin oleh Kunkiyat, Sektor Tengah 

antara lain dipimpin oleh Marhadi, sedangkan Sektor Timur dipimpin oleh 

Kadim Prawirodiarjo. Sementara itu Sukarno membakar semangat juang 

rakyat lewat radio. Sesudah batas waktu ultimatum habis, keadaan semakin 

ekplosif. Kontak senjata pertama terjadi di Perak, yang berlangsung sampai 

jam 18.00. Inggris berhasil menguasai garis pertahanan pertama. Gerakan 

pasukan Inggris disertai dengan pengeboman yang ditujukan pada sasaran 

yang diperkirakan menjadi tempat pemusatan pemuda. Surabaya yang 

telah digempur oleh Inggris berhasil dipertahankan oleh para pemuda 

hampir 3 minggu lamanya. Sektor demi sektor dipertahankan secara gigih, 

walaupun pihak Inggris menggunakan senjata-senjata modern dan berat. 

Pertempuran yang terakhir terjadi di Gunungsari pada 28 November 1945, 

namun perlawanan secara sporadis masih dilakukan. Markas pertahanan 

Surabaya dipindahkan ke desa yang terkenal dengan sebutan Markas Kali. 

Kejadian ini merupakan sebuah lambang keberanian dan kebulatan tekad 

dalam mempertahankan kemerdekaan dan membela Tanah Air Indonesia 

dari segala bentuk penjajahan.

Pertempuran di Surabaya telah menunjukkan begitu heroiknya para pejuang 

kita untuk melawan kekuatan asing. Untuk mengenang, peristiwa itu, maka 

tanggal 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan.


d. Pertempuran Palagan Ambarawa 

Pertempuran Ambarawa terjadi pada tanggal 29 November dan berakhir 

pada 15 Desember 1945 antara pasukan TKR dan pemuda Indonesia 

melawan pasukan Inggris. Latar belakang dari peristiwa ini dimulai dengan 

insiden yang terjadi di Magelang sesudah mendaratnya Brigade Artileri 

dari Divisi India ke-23 di Semarang pada tanggal 20 Oktober 1945. Oleh 

pihak RI mereka diperkenankan untuk mengurus tawanan perang yang 

berada di penjara Ambarawa dan Magelang. Ternyata mereka diboncengi 

oleh tentara Nederland Indische Civil Administration (NICA) yang kemudian 

mempersenjatai bekas tawanan itu. Pada tanggal 26 Oktober 1945 pecah 

insiden Magelang yang berkembang menjadi pertempuran antara TKR dan 

tentara Sekutu. Insiden itu berhenti setelah kedatangan Presiden Sukarno 

dan Brigadir Jenderal Bethell di Magelang pada tanggal 2 November 1945. 

Mereka mengadakan perundingan gencatan senjata dan tercapai kata 

sepakat yang dituangkan ke dalam 12 pasal, diantaranya sebagai berikut.

1)

Pihak Sekutu tetap menempatkan pasukannya di Magelang untuk 

melakukan kewajibannya melindungi dan mengurus evakuasi Allied 

Prisoners War and Interneers (APWI-tawanan perang dan interniran 

Sekutu);

2)

Jalan raya Magelang-Ambarawa terbuka bagi lalu lintas Indonesia￾Sekutu; dan

3)

Sekutu tidak akan mengakui aktivitas NICA dalam badan-badan yang 

berada di bawahnya.

Ternyata pihak Sekutu ingkar janji. Pada tanggal 20 November 1945 di 

Ambarawa pecah pertempuran antara pasukan TKR di bawah pimpinan 

Mayor Sumarto melawan tentara Sekutu. Pada tanggal 21 November 1945 

pasukan Sekutu yang berada di Magelang ditarik ke Ambarawa di bawah 

lindungan pesawat tempur. Namun, tanggal 22 November 1945 pertempuran 

berkobar di dalam kota dan pasukan Sekutu melakukan pengeboman 

terhadap kampung-kampung yang berada di sekitar Ambarawa. Pasukan 

TKR bersama pemuda dari Boyolali, Salatiga, Kartosuro bertahan di kuburan 

Belanda, sehingga membentuk garis medan sepanjang rel kereta api dan 

membelah kota Ambarawa. Sementara itu, dari arah Magelang pasukan 

TKR dan Divisi V/Purwokerto di bawah pimpinan Imam Adrongi melakukan 

serangan fajar pada tanggal 21 November 1945 dengan tujuan memukul 

mundur pasukan Sekutu yang berkedudukan di Desa Pingit. Pasukan Imam 

Adrongi berhasil menduduki Desa Pingit dan merebut desa-desa sekitarnya.


Sementara itu, Batalion 

Imam Adrongi meneruskan 

gerakan pengejarannya. 

Kemudian disusul 3 

batalion yang berasal 

dari Yogyakarta, yaitu 

batalion 10 Divisi III di 

bawah pimpinan Mayor 

Suharto, batalion 8 di 

bawah pimpinan Mayor 

Sarjono, dan Batalion 

Sugeng. Musuh akhirnya 

terkepung. Walaupun 

demikian, pasukan musuh 

mencoba mematahkan 

pengepungan dengan 

mengadakan gerakan 

melambung dan 

mengancam kedudukan 

pasukan Indonesia dari 

belakang dengan tank￾tanknya. Untuk mencegah 

jatuhnya korban, pasukan 

mundur ke Bedono. 

Dengan bantuan resimen 

kedua yang dipimpin M. 

Sarbini, batalion Polisi 

Istimewa yang dipimpin Onie Sastroatmojo dan batalion dari Yogyakarta, 

gerakan musuh berhasil ditahan di Desa Jambu. 

Di Desa Jambu para komandan mengadakan rapat koordinasi yang dipimpin 

oleh Kolonel Holland Iskandar. Rapat itu menghadirkan pembentukan 

komando yang disebut Markas Pimpinan Pertempuran dan bertempat di 

Magelang. Sejak saat Ambarawa dibagi atas 4 sektor, yaitu sektor Utara, sektor 

Selatan, sektor Barat dan sektor Timur. Kekuatan pasukan bertempur secara 

bergantian. Pada tanggal 26 November 1945 pimpinan pasukan TKR dari 

Purwokerto yaitu Letkol Isdiman gugur. Setelah mengetahui Isdiman gugur 

maka pimpinan pasukan TKR Purwokerto Kolonel Sudirman turun langsung 

memimpin pasukan. Kehadiran Sudirman ini semakin menambah semangat 

tempur TKR dan para pejuang yang sedang bertempur di Ambarawa. Kolonel Sudirman menyodorkan taktik perang Supit 

Urang. Taktik ini segera diterapkan. Musuh 

mulai terjepit dan situasi pertempuran semakin 

menguntungkan pasukan TKR. Sejak saat itu, 

pimpinan pasukan TKR Purwokerto dipimpin 

oleh Kolonel Sudirman. Situasi pertempuran 

menguntungkan pasukan TKR. Pada tanggal 

5 Desember 1945, musuh terusir dari Desa 

Banyubiru, yang merupakan garis pertahanan 

yang terdepan. 

Pada tanggal 12 Desember 1945 dini hari, 

pasukan TKR bergerak menuju sasaran masing￾masing. Dalam waktu setengah jam pasukan 

TKR berhasil mengepung musuh di dalam kota. 

Pertahanan musuh yang terkuat diperkirakan 

berada di Benteng Willem yang terletak 

di tengah-tengah kota Ambarawa. Kota 

Ambarawa dikepung selama empat hari empat malam. Musuh yang merasa 

kedudukannya terjepit berusaha keras untuk melakukan pertempuran. 

Pada tanggal 15 Desember 1945 musuh meninggalkan Kota Ambarawa 

dan mundur ke Semarang. Pertempuran di Ambarawa ini mempunyai arti 

penting karena letaknya yang sangat strategis. Apabila musuh menguasai 

Ambarawa, mereka dapat mengancam 3 kota utama di Jawa Tengah, yaitu 

Surakarta, Magelang dan Yogyakarta. 

Dalam pertempuran itu, pasukan TKR mengalami kemenangan yang 

gemilang. Menyambut kemenangan itu Sudirman yang masih berpakaian 

perang langsung mengambil air wudu dan segera melakukan sujud syukur 

seraya berdoa:

"Ya Allah ya Tuhan, Maha Besar dan Maha Kuasa Engkau. Engkaulah sumber kekuatan dan 

kemenangan. Ampunilah hamba-Mu yang lemah dan dhaif ini dan berikan kami kekuatan”.


Kemenangan pertempuran Ambarawa ini cepat menyebar ke pos-pos 

pertahanan TKR, bahkan sampai ke dapur-dapur umum. Hal ini semakin 

menambah semangat juang pada pejuang di medan tempur.


Dengan kemenangan ini nama Sudirman semakin populer sebagai 

komandan dan pimpinan TKR. Kemenangan ini juga menunjukkan bahwa 

Republik Indonesia masih memiliki pasukan yang kuat yaitu pasukan TKR 

dan rakyat yang menolak kembalinya penjajah di bumi pertiwi Indonesia. 

Untuk mengenang pertempuran Ambarawa, tanggal 15 Desember dijadikan 

Hari Infanteri. Di Ambarawa juga dibangun Monumen Palagan, Ambarawa.


e. Pertempuran Medan Area 

Pada tanggal 9 November 1945, pasukan Sekutu di bawah pimpinan Brigadir 

Jenderal T.E.D. Kelly mendarat di Sumatra Utara. Pendaratan pasukan Sekutu 

itu diboncengi oleh pasukan NICA yang telah dipersiapkan untuk mengambil 

alih pemerintahan. Pemerintahan RI Sumatra Utara memperkenankan mereka 

menempati beberapa hotel di Medan, seperti Hotel de Boer, Grand Hotel, 

Hotel Astoria dan lainnya, karena menghormati tugas mereka. Sebagian 

dari mereka ditempatkan di Binjai, Tanjung Morawa dan beberapa tempat 

lainnya dengan memasang tenda-tenda lapangan. 

Sehari setelah mendarat, tim dari RAPWI telah mendatangi kamp-kamp 

tawanan di Pulu Berayan, Saentis, Rantau Prapat, Pematang Siantar dan 

Berastagi untuk membantu membebaskan para tawanan dan dikirim 

ke Medan atas persetujuan Gubernur M. Hasan. Ternyata kelompok itu 

langsung dibentuk menjadi Medan Batalion KNIL. Dengan kekuatan itu, 

maka tampaklah perubahan sikap dari bekas tawanan tersebut. Mereka 

bersikap congkak karena merasa sebagai pemenang atas perang. Sikap ini 

memancing timbulnya pelbagai insiden yang dilakukan secara spontan oleh 

para pemuda. Insiden pertama terjadi di Jalan Bali, Medan pada tanggal 13 

Oktober 1945. Insiden ini berawal dari ulah seorang penghuni hotel yang 

merampas dan menginjak-injak lencana Merah Putih yang dipakai oleh salah 

seorang yang ditemuinya. Akibatnya hotel tersebut diserang dan dirusak 

oleh para pemuda. 


Insiden ini menjalar ke berbagai kota seperti 

Pematang Siantar dan Brastagi. Sementara itu, 

pada tanggal 10 Oktober 1945 dibentuk TKR 

Sumatra Timur dengan pimpinannya Ahmad 

Tahir. Selanjutnya diadakan pemanggilan 

terhadap bekas Giyugun dan Heiho ke Sumatra 

Timur. Panggilan ini mendapat sambutan luar 

biasa dari mereka. Di samping TKR, di Sumatra 

Timur terbentuk juga badan-badan perjuangan 

yang sejak 15 Oktober 1945 menjadi Pemuda 

Republik Indonesia Sumatra Timur dan 

kemudian berganti nama menjadi Pesindo. 

Sebagaimana di kota-kota lain di Indonesia, 

Inggris memulai aksinya untuk memperlemah 

kekuatan Republik dengan cara memberikan ultimatum kepada bangsa 

Indonesia agar menyerahkan senjatanya kepada Sekutu. Hal ini dilakukan 

pula oleh Kelly terhadap pemuda Medan pada tanggal 18 Oktober1945. 

Sejak saat itu tentara NICA merasa memperoleh dukungan dari pihak 

Inggris. Demikian pula pasukan Sekutu mulai melakukan aksi-aksi terornya, 

sehingga timbul rasa permusuhan di kalangan pemuda. Patroli-patroli Inggris 

tidak pernah merasa aman, karena pemerintah Republik Indonesia tidak 

memberikan jaminan keamanan. Meningkatnya korban di pihak Inggris 

menyebabkan mereka memperkuat kedudukannya dan menentukan sendiri 

secara sepihak batas kekuasaannya.

Pada tanggal 1 Desember 1945, pihak Sekutu memasang papan-papan 

yang bertuliskan Fixed Boundaries Medan Area di berbagai sudut pinggiran 

kota Medan. Tindakan pihak Inggris itu merupakan tantangan bagi para 

pemuda. Pihak Inggris bersama NICA melakukan aksi pembersihan terhadap 

unsur-unsur Republik yang berada di kota Medan. Para pemuda membalas 

aksi-aksi tersebut, setiap usaha pengusiran dibalas dengan pengepungan, 

bahkan seringkali terjadi tembak menembak. Pada tanggal 10 Desember 

1945, pasukan Inggris dan NICA berusaha menghancurkan konsentrasi 

TKR di Trepes. Selanjutnya TKR menculik seorang perwira Inggris dan 

menghancurkan beberapa truk. Dengan peristiwa ini Jenderal Kelly kembali 

mengancam para pemuda agar menyerahkan senjata mereka. Barang siapa 

yang nyata-nyata melanggar akan ditembak mati. Daerah yang ditentukan 

adalah kota Medan dan Belawan. Perlawanan terus memuncak, pada bulan 

April 1946 tentara Inggis mulai berusaha mendesak pemeintah RI ke luar kota Medan. Gubernur, Markas Divisi TKR, Walikota RI pindah ke Pematang 

Siantar. Dengan demikian Inggris berhasil menguasai kota Medan. 

Pada tanggal 10 Agustus 1946 di Tebingtinggi diadakan suatu pertemuan 

antara komandan-komandan pasukan yang berjuang di Medan Area. 

Pertemuan memutuskan dibentuknya satu komando yang bernama 

“Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area” yang dibagi atas 4 sektor 

dan bermarkas di Sudi Mengerti (Trepes). Di bawah komando inilah mereka 

meneruskan perjuangan di Medan Area. 

f. Bandung Lautan Api 

Di Bandung pertempuran diawali oleh usaha para pemuda untuk merebut 

pangkalan udara Andir dan pabrik senjata bekas Artillerie Constructie Winkel 

(ACW-sekarang Pindad) dan berlangsung terus sampai kedatangan pasukan 

Sekutu di Bandung pada 17 Oktober 1945. Seperti halnya di kota-kota lain, 

di Bandung pun pasukan Sekutu dan NICA melakukan teror terhadap rakyat, 

sehingga terjadi pertempuran-pertempuran. Menjelang bulan November 

1945, pasukan NICA semakin merajalela di Bandung. NICA memanfaatkan 

kedatangan pasukan Sekutu untuk mengembalikan kekuasaan kolonialnya di 

Indonesia. Namun, semangat juang rakyat dan para pemuda yang tergabung 

dalam TKR, laskar-laskar dan badan-badan perjuangan semakin berkobar. 

Pertempuran demi pertempuran terjadi.

Pada bulan Oktober di Bandung telah terbentuk Majelis Dewan Perjuangan 

yang dipimpin panglima TKR, Aruji Kartawinata. Dewan perjuangan ini terdiri 

atas wakil-wakil TKR dan berbagai kelaskaran. Pada tanggal 21 November 

1945 Sekutu mengeluarkan ultimatum agar para pejuang menyerahkan 

senjata dan mengosongkan Bandung Utara. Ternyata ultimatum itu tidak 

diindahkan oleh pihak pejuang. Insiden terjadi, para pemuda melakukan 

penyerobotan terhadap kendaraan-kendaraan Belanda yang berlindung di 

bawah Sekutu. Penculikan juga sering terjadi. 

Peristiwa yang memperburuk keadaan terjadi pada tanggal 25 November 

1945. Selain menghadapi serangan musuh, rakyat menghadapi banjir besar 

meluapnya Sungai Cikapundung. Ratusan korban terbawa hanyut dan ribuan 

penduduk kehilangan tempat tinggal. Keadaan ini dimanfaatkan musuh 

untuk menyerang rakyat yang tengah menghadapi musibah. 


Dalam suasana yang demikian itu, Majelis Dewan Perjuangan tidak sabar 

menunggu reaksi dari pemerintah. Majelis yang terdiri dari berbagai kesatuan 

ini memutuskan untuk melancarkan perlawanan. Pada malam hari tanggal 

24 - 25 November 1945 rakyat Bandung melancarkan serangan terhadap 

posisi-posisi Sekutu dan NICA. 

Tanggal 23 Maret 1946, pihak Sekutu kembali mengeluarkan ultimatum. 

Isi ultimatum itu adalah agar TRI mengosongkan seluruh kota Bandung dan 

mundur ke luar kota dengan jarak 11 km. Untuk menghindari penderitaan 

rakyat dan kehancuran kota Bandung, maka Pemerintah RI menyetujui untuk 

melaksanakan pengosongan kota Bandung. 

Kolonel Abdul Haris Nasution sebagai Komandan Divisi III Siliwangi 

menginstruksikan rakyat untuk mengungsi pada tanggal 24 Maret 1946. 

Malam harinya bangunan-bangunan penting mulai dibakar dan ditinggalkan 

mengungsi ke Bandung Selatan oleh sekitar 200.000 warganya. Kota 

Bandung yang terbakar ini juga disaksikan oleh istri Otto Iskandardinata yang 

masih menunggu kabar kepastian hilangnya sang suami. Warga mengungsi 

dengan membawa barang seadanya, sebagian mengatur perjalanan ke 

pengungsian, sebagian menyelamatkan dokumen-dokumen kota, sebagian 

membakar gedung-gedung penting, bahkan meledakkan bangunan￾bangunan besar, hingga instalasi militer pun dihancurkan, salah satunya 

gudang mesiu yang diledakkan oleh Mohammad Toha yang gugur bersama 

ledakan. Tengah malam kota Bandung yang terbakar telah ditinggalkan. 

Menyisakan kenangan perjuangan Bandung Lautan Api. 

Peristiwa tersebut dikenang hingga kini. Mars Halo Halo Bandung diciptakan. 

Kemudian monumen pun didirikan di lapangan Tegalega. Sineas pun tak 

luput menjadikan peristiwa tersebut dalam film “Toha Pahlawan Bandung 

Selatan”, sebuah film karya Usmar Ismail, juga film “Bandung Lautan Api” 

karya Alam Rengga Surawijaya. Tak ketinggalan penulis puisi W.S. Rendra 

juga mengabadikan dalam Sajak Seorang Tua tentang Bandung Lautan Api.

g. Berita Proklamasi di Sulawesi 

Berita proklamasi yang dikumandangkan oleh Sukarno dan Moh. Hatta, 

sampai pula di Sulawesi. Sam Ratulangi, yang saat itu menjabat sebagai 

Gubernur Sulawesi, yang berkedudukan di Makasar mendapat tugas dari PPKI untuk menyusun Komite Nasional Indonesia. Sementara itu, para 

pemuda Sulawesi memperbanyak teks proklamsi untuk disebarluaskan 

keseluruh pelosok penjuru. Atas inisiatif Manai Shopian dan kawan-kawan, 

dibuat plakat proklamasi di rumah A. Burhanuddin dan di kantor pewarta 

Celebes, yang kemudian diganti nama dengan Soeara Indonesia. 

Saat itu tentara Sekutu dengan cepat dapat menguasai Indonesia bagian 

Timur, termasuk Sulawesi. Upaya Sam Ratulangi untuk menyampaikan berita 

proklamasi ke penjuru Sulawesi mendapat halangan dari tentara Sekutu. 

Para pemuda mulai mengorganisasi diri dan merencanakan untuk merebut 

gedung-gedung vital. Pada tanggal 28 Oktober 1945, kelompok pemuda 

yang terdiri dari bekas Kaigun, Heiho dan pelajar SMP, bergerak menuju 

sasarannya dan mendudukinya. Akibat peristiwa itu pasukan Australia yang 

telah ada, bergerak dan melucuti para pemuda. Sejak itu pusat gerakan 

pemuda dipindahkan dari Ujungpandang ke Polombangkeng. Bahkan Sam 

Ratulangi kemudian ditangkap oleh NICA dan diasingkan ke Serui, Papua. 

Berita proklamasi di Sulawesi Tenggara diterima di Kolaka, Kendari. Mula￾mula berita diterima oleh kalangan Kaigun dan Heiho yang dibawa oleh 

tentara Jepang. Saat itu yang bertugas memimpin Heiho adalah Idie Heiso 

dan Sudamitsu Heiso. Sementara berita proklamasi baru diketahui oleh rakyat 

Muna, saat Jepang menyerahkan pemerintahan Muna kepada Ode Ipa yang 

kemudian meninggalkan Muna menuju Kendari. Di Buton berita proklamasi 

diterima rakyat dari para pelayar yang tiba dari Jakarta dan Bangka serta dari 

orang-orang Jepang yang datang ke Makassar. Mula-mula berita itu diterima 

di Kepulauan Tukang Besi (Wakatobi). Di Sulawesi Tengah, berita proklamasi 

diterima pada tanggal 17 Agustus pada pukul 15.00 waktu setempat. Berita 

itu diterima Abdul Latief dari tentara Jepang yang dikawal dari dua tentara 

Heiho dari Sulawesi Selatan, yaitu Saleh Topetu dan Djafar. Perwira itu 

mengatakan “Bangsa Indonesia sudah merdeka”.

Di Manado, berita proklamasi pertama kali diterima di markas besar tentara 

Jepang yang berkedudukan di Minahasa. Di Markas itu terdapat alat-alat 

sarana komunikasi yang mempekerjakan tenaga Indonesia diantaranya adalah 

A.S. Rombot. Saat itu, Rombot sedang mendapat tugas untuk menerima 

berita Domei dari Tokyo. Pada saat itulah berita tentang proklamasi yang 

disebarkan di seluruh penjuru dunia itu diketahuinya, tepatnya pada 18 

Agustus 1945. Berita itu diterimanya bersamaan dengan berita kapitulasi 

Jepang dan perintah genjatan senjata. Segera setelah bertugas Rombot 

mengontak W.F. Sumati yang saat itu sebagai daidancho boo ei Teisintai di Tondano. Kedua tokoh itu kemudian menyampaikan berita proklamasi itu 

ke tokoh-tokoh nasionalis. Berita itu kemudian disebarkan ke Sangir Talaud, 

Bolaang Mongondow, dan Gorontalo. 

Setelah berita proklamasi kemerdekaan tersebar keseluruh penjuru Sulawesi, 

sejak itu pula bendera merah putih mulai berkibar menjadi lambang Indonesia 

merdeka. Cita-cita yang sudah lama diinginkan oleh rakyat pun terwujud. 

Di Sulawesi Tenggara misalnya, bendera merah putih dikibarkan pada 17 

September 1945 dengan dipimpin oleh D. Andi Kasim. Di Lasusua bendera 

merah putih dikibarkan pada 5 Oktober 1945 yang dihadiri oleh kepala distrik 

Patampanua dan beberapa pimpinan pemuda RI dari Luwu. 

Sementara itu, pada 14 Februari 1946, B.W. Lapian sebagai pemimpin sipil 

pada saat itu memimpin pasukan pemuda bersama Letkol. Ch. Taulu dan 

Serda S.D. Wuisan merobek bagian biru pada bendera Belanda di tangsi 

militer Belanda, di Teling, Menado. Peristiwa heroik itu menandai berkibarnya 

bendera merah putih.

h. Operasi Lintas Laut Banyuwangi – Bali 

Operasi lintas Laut Banyuwangi-Bali merupakan operasi gabungan dan 

pertempuran laut pertama sejak berdirinya negara Republik Indonesia. 

peristiwa itu dimulai dengan kedatangan Belanda dengan membonceng 

Sekutu, mendarat di Bali dengan jumlah pasukan yang cukup besar, tanggal 

3 Maret 1946. Hal ini dimaksudkan Bali sebagai batu loncatan untuk 

menyerbu Jawa Timur yang dinilai sebagai lumbung pangan untuk kemudian 

mengepung pusat kekuasaan RI. Bali juga dapat dijadikan penghubung ke 

arah Australia. 

Dengan perkembangan di atas, maka telah mengalihkan konfrontasi dari 

Indonesia melawan Jepang berganti menjadi Indonesia melawan Belanda. 

Berkaitan dengan hal tersebut, maka para pemimpin perjuangan yang 

sudah sampai di Jawa berusaha mencari bantuan dan membentuk kesatuan￾kesatuan tempur. Mereka antara lain telah membentuk Pasukan Markadi 

atau Pasukan Merdeka sebagai pasukan induk. Pasukan itu kemudian lebih 

dikenal dengan nama Pasukan M. Kapten Markadi sebelumnya bertugas 

mendampingi Kolonel Prabowo, Kolonel Munadi dan Letkol I Gusti Ngurah 

Rai ke markas besar TRI di Yogyakarta untuk meminta bantuan, karena makin 

lemahnya kekuatan TRI Sunda Kecil di Bali. 


Kondisi itu mendorong Letjen. Urip Sumoharjo di Markas Besar TRI Yogyakarta 

untuk memutuskan memperkuat TRI Sunda Kecil dengan bantuan senjata 

dan amunisi kepada I Gusti Ngurah Rai. Untuk itulah Pasukan M berperan 

penopang Pasukan Sunda Kecil di bawah Pimpinan Ngurah Rai. Pasukan ini 

juga dilengkapi pasukan sandi yang disebut CIS (Combat Intelligent Section) 

yang terdiri dari para pelajar. Disiapkanlah tiga pasukan untuk memblokade 

pasukan Belanda. Pasukan angkatan laut dipimpin oleh Kapten Makardi 

dan Waroka. Angkatan Darat di bawah pimpinan Letkol I Gusti Ngurah Rai. 

Operasi itu direncanakan melalui tiga titik pendaratan. Pasukan Waroka 

mendarat di Pantai Gerokgak dan Celuk Bawang. Pasukan Markadi mendarat 

di antara Cupel dan Candi Kusuma, Jembrana dan Pasukan I Gusti Gurah 

Rai mendarat di Pantai Yeh Kuning. Operasi rahasia itu ditujukan untuk 

mendapatkan informasi intelijen yang akurat. 

Pasukan diberangkatkan dari Muncar Banyuwangi dengan sasaran daerah 

Kuning dan terus ke Munduk Malang. Penyeberangan dilaksanakan malam 

hari. Rombongan ini dalam penyeberangannya di tengah laut dipergoki 

oleh patroli Belanda dan langsung menembaki ke arah rombongan pasukan 

Ngurah Rai. Akibatnya Cokorde Rai Gambir dan Cokorde Dharma Putra 

gugur. Sebagian berhasil mendarat di Yeh Kuning dan sebagian lagi di 

bawah Ngurah Rai kembali ke Muncar. Keesokan harinya tanggal 4 April 

1946, rombongan Ngurah Rai berhasil mendarat di Pulukan untuk seterusnya 

menuju Munduk Malang.

Gelombang ketiga, Pasukan M sebagai induk pasukan berangkat pada tanggal 

4 April 1946 malam hari. Mereka berangkat dari pelabuhan Banyuwangi 

dengan berkekuatan empat peleton. Sasarannya akan mendarat di daerah 

Candikusuma. Saat fajar menyingsing, rombongan Pasukan M dipergoki 

oleh dua motorboat Belanda yang sedang berpatroli. Terjadilah pertempuran 

antara Pasukan M melawan patroli Belanda. Dengan taktik menempel pada 

motorboat Belanda, Pasukan M sulit untuk ditembaki Belanda. Sebaliknya, 

Pasukan M dapat melemparkan granat-granat tangan ke dek motorboat. 

Akhirnya, satu motorboat Belanda terbakar dan tenggelam serta yang satunya 

melarikan diri. Setelah berhasil menghancurkan patroli Belanda, Pasukan 

memerintahkan untuk putar haluan kembali ke Banyuwangi, sebab arus laut 

yang kuat dan kapal Markadi sendiri berlobang-lobang. Dalam perang ini, 

pihak Pasukan M gugur dua orang, yakni Sumeh Darsono dan Sidik. 


Keesokan harinya, Pasukan M kembali berlayar menuju Bali dan mereka 

berhasil melakukan pendaratan di Klatakan, Melaya, dan Candikusuma. 

Sesampainya di Bali dilakukan koordinasi dan dibentuk MGGSK (Markas 

Gabungan Gerakan Sunda Kecil). Kemudian pada bulan Juli 1946, juga 

terjadi pendaratan pasukan tempur yang dipimpin oleh Kapten Saestuhadi. 

Setelah itu terjadilah pertempuran di berbagai daerah. 

Mula pertama pasukan MGGSK dihadang oleh pasukan Belanda di Klatakan. 

Terjadilah pertempuran sengit. Pasukan MGGSK terdesak dan pemimpin yang 

gugur, antara lain Kapten Saestuhadi, Kapten Suryadi, dan Letnan Nurhadi. 

Selanjutnya, Pasukan M melakukan penyerangan ke berbagai daerah, 

antara lain, di Gilimanuk Cekik, Penginuman, Candikusuma, Cupek, Negara, 

Sarikuning, Pulukan, Gunungsari, Klatakan, Munduk Malang, Tabanan, dan 

Celukan Bawang. 

Untuk mengenang perjuangan pasukan kita yang gugur dalam operasi lintas 

laut, maka di daerah Cekik, Gilimanuk didirikan monumen yang dinamakan 

Monumen Operasi Lintas Laut Banyuwangi-Bali.

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)