Materi Sejarah Indonesia Kelas 11 Bab 7 Revolusi Menegakkan Panji-Panji NKRI: Tantangan Awal Kemerdekaan (Sejarah Indonesia Kelas XI SMA/MA/SMK/MAK). Pembaca Readklikshare, berikut ini adalah materi Sejarah Indonesia Kelas 11 SMA/MA/SMK/MAK semester 2 (semester genap) Bab VII. Revolusi Menegakkan Panji-Panji NKRI.
Pada Bab 7 ini meliputi beberapa sub judul pembahasan. Kali ini kami posting pembahasan tentang:
1. Kondisi Awal Indonesia Merdeka
2. Kedatangan Sekutu dan Belanda
3. Merdeka atau Mati
Untuk memudahkan Anda dalam belajar, kami buatkan Daftar Isi Pembahasannya. Jika ingin loncat menuju materi yang dikehendaki, tinggal klik atau pencet saja judul pada Daftar Isi berikut ini cukup dengan Klik: Show
Revolusi Menegakkan Panji-Panji NKRI: Tantangan Awal Kemerdekaan
Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 bukan titik akhir perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan. Belanda
yang telah ratusan tahun merasakan kekayaan Indonesia enggan mengakui kemerdekaan Indonesia. Sekutu yang telah memenangkan Perang Dunia II merasa memiliki hak atas nasib bangsa Indonesia. Belanda mencoba masuk kembali ke Indonesia dan menancapkan kolonialisme dan imperialismenya.
Sementara kondisi sosial ekonomi Indonesia masih sangat memprihatinkan, perangkat-perangkat kenegaraan juga baru dibentuk, Indonesia ibarat bayi baru lahir masih lemah, tetapi merdeka adalah harga mati. Berbagai upaya bangsa asing untuk menguasai kembali bangsa Indonesia ditentang dengan
berbagai cara. Pertempuran heroik dengan korban ribuan jiwa terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Tidak terhitung dengan jelas berapa jumlah korban jiwa dari pertempuran mempertahankan bangsa Indonesia tersebut, bahkan banyak pahlawan tidak dikenal yang berguguran. Nah, bagaimana kondisi awal Indonesia merdeka dan bagaimana proses perjuangan bangsa Indonesia berikutnya?
Kondisi Awal Indonesia Merdeka
Secara politis keadaan Indonesia pada awal kemerdekaan belum begitu mapan. Ketegangan, kekacauan, dan berbagai insiden masih terus terjadi.
Hal ini tidak lain karena masih ada kekuatan asing yang tidak rela kalau Indonesia merdeka. Sebagai contoh rakyat Indonesia masih harus bentrok dengan sisa-sisa kekuatan Jepang. Jepang beralasan bahwa ia diminta oleh Sekutu agar tetap menjaga Indonesia dalam keadaan status quo. Di samping menghadapi kekuatan Jepang, bangsa Indonesia harus berhadapan dengan tentara Inggris atas nama Sekutu, dan juga Belanda atau NICA (Netherlands Indies Civil Administration) yang berhasil datang kembali ke Indonesia dengan membonceng Sekutu. Pemerintahan memang telah terbentuk, beberapa alat kelengkapan negara juga sudah tersedia, tetapi karena baru awal kemerdekaan tentu masih banyak kekurangan. PPKI yang keanggotaannya sudah disempurnakan berhasil mengadakan sidang untuk mengesahkan UUD dan memilih Presiden-Wakil Presiden. Bahkan, untuk menjaga keamanan negara juga telah dibentuk TNI.
Kondisi perekonomian negara masih sangat memprihatinkan sehingga terjadi inflasi yang cukup berat. Hal ini dipicu karena peredaran mata uang rupiah Jepang yang tak terkendali, sementara nilai tukarnya sangat rendah.
Permerintah RI sendiri tidak bisa melarang beredarnya mata uang tersebut, mengingat Indonesia sendiri belum memiliki mata uang sendiri. Sementara kas pemerintah kosong, waktu itu berlaku tiga jenis mata uang, yaitu De Javasche Bank, uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang rupiah Jepang. Bahkan, setelah NICA datang ke Indonesia juga memberlakukan mata uang NICA. Kondisi perekonomian ini semakin parah karena adanya blokade yang dilakukan NICA. Belanda juga terus memberi tekanan dan teror terhadap pemerintah Indonesia. Inilah yang menyebabkan Jakarta semakin kacau sehingga pada tanggal 4 Januari 1946 Ibu Kota RI pindah ke Yogyakarta. Kemudian untuk mengatasi keadaan keuangan, pada 1 Oktober 1946 Indonesia mengeluarkan uang RI yang disebut ORI (Oeang Republik Indonesia). Sementara itu uang NICA dinyatakan sebagai alat tukar yang tidak sah.
Struktur kehidupan masyarakat mulai mengalami perubahan, tidak ada lagi diskriminasi. Semua memiliki hak dan kewajiban
yang sama. Sementara dalam hal
pendidikan, pemerintah mulai
menyelenggarakan pendidikan
yang diselaraskan dengan
alam kemerdekaan. Menteri
Pendidikan dan Pengajaran juga
sudah diangkat. Kamu tahu
siapa Menteri Pendidikan dan
Pengajaran yang pertama di
Indonesia?
Kedatangan Sekutu dan Belanda
Tentu kamu masih ingat bagaimana Jepang menyerah kepada Sekutu.
Penyerahan Jepang kepada Sekutu tanpa syarat tanggal 14 Agustus 1945
membuat analogi bahwa Sekutu memiliki hak atas kekuasaan Jepang di
berbagai wilayah, terutama wilayah yang sebelumnya merupakan jajahan
negara-negara yang masuk dalam Sekutu. Belanda adalah salah satu negara
yang berada di kelompok Sekutu. Apakah kamu masih ingat bagaimana
Belanda saat kalah dan menyerahkan kekuasaan kepada Jepang? Apakah
Belanda kembali ke tanah airnya? Setelah Belanda kalah dengan Jepang,
mereka melarikan diri ke Australia.
Bagaimana kondisi Indonesia setelah Jepang menyerah tanpa syarat
kepada Sekutu? Bagi Sekutu dan Belanda, Indonesia dalam masa vacum of
power atau kekosongan pemerintahan. Karena itu, logika Belanda adalah
kembali berkuasa atas Indonesia seperti sebelum Indonesia direbut Jepang.
Dengan kata lain, Belanda ingin menjajah kembali Indonesia. Bagi Sekutu,
setelah selesai PD II, maka negara-negara bekas jajahan Jepang merupakan
tanggung jawab Sekutu. Sekutu memiliki tanggung jawab perlucutan senjata
tentara Jepang, memulangkan tentara Jepang, dan melakukan normalisasi
kondisi bekas jajahan Jepang? Bayangan Belanda tentang Indonesia jauh
dari kenyataan. Faktanya, rakyat Indonesia telah memproklamasikan
kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Kondisi ini tentu bertolak
belakang dengan bayangan Belanda dan Sekutu. Karena itu, dapat diprediksi
kejadian berikutnya, yakni akan terjadi pertentangan atau konflik antara
Indonesia dengan Sekutu ataupun Belanda.
Bagaimana dampak kedatangan Sekutu ke Indonesia? Sekutu masuk
ke Indonesia diboncengi NICA. Mereka masuk melalui beberapa pintu
wilayah Indonesia terutama daerah yang merupakan pusat pemerintahan
pendudukan Jepang seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya. Setelah PD II,
terjadi perundingan Belanda dengan Inggris di London yang menghasilkan
Civil Affairs Agreement. Isinya tentang pengaturan penyerahan kembali
Indonesia dari pihak Inggris kepada Belanda, khusus yang menyangkut
daerah Sumatra sebagai daerah yang berada di bawah pengawasan SEAC
(South East Asia Command). Di dalam perundingan itu dijelaskan langkah-langkah yang ditempuh sebagai berikut.
a. Fase pertama, tentara Sekutu akan mengadakan operasi militer untuk
memulihkan keamanan dan ketertiban.
b. Fase kedua, setelah keadaan normal pejabat-pejabat NICA akan
mengambil alih tanggung jawab koloni itu dari pihak Inggris yang
mewakili Sekutu.
Setelah diketahui Jepang menyerah pada tanggal 15 Agustus 1945, maka
Belanda mendesak Inggris agar segera mensahkan hasil perundingan tersebut.
Pada tanggal 24 Agustus 1945 hasil perundingan tersebut disahkan.
Berdasarkan Persetujuan Potsdam, isi Civil Affairs Agreement diperluas.
Inggris bertanggung jawab untuk seluruh Indonesia termasuk daerah yang
berada di bawah pengawasan SWPAC (South West Pasific Areas Command).
Untuk melaksanakan isi Perjanjian Potsdam, maka pihak SWPAC di bawah
Lord Louis Mountbatten di Singapura segera mengatur pendaratan tentara
Sekutu di Indonesia. Kemudian pada tanggal 16 September 1945, wakil
Mountbatten, yakni Laksamana Muda WR Patterson dengan menumpang
Kapal Cumberland, mendarat di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Dalam
rombongan Patterson ikut serta Van Der Plass seorang Belanda yang mewakili
H.J. Van Mook (Pemimpin NICA).
»
Pada saat perundingan antara Belanda dan Inggris di London,
Parlemen Inggris telah memutuskan kepada Pemerintah Inggris
untuk tidak menggunakan pasukannya
untuk membantu pihak lain selain untuk
melaksanakan tugas Sekutu.
Setelah informasi dan persiapan dipandang
cukup, maka Louis Mountbatten membentuk
pasukan komando khusus yang disebut AFNEI
(Allied Forces Netherlands East Indiers) di bawah
pimpinan Letnan Jenderal Sir Philip Christison.
Mereka tergabung di dalam pasukan tentara
Inggris yang berkebangsaan India, yang sering
disebut sebagai tentara Gurkha. Tugas tentara
AFNEI sebagai berikut.
a. menerima penyerahan kekuasaan tentara Jepang tanpa syarat.
b. membebaskan para tawanan perang dan interniran Sekutu;
c. melucuti dan mengumpulkan orang-orang Jepang untuk dipulangkan
ke negerinya;
d. menegakkan dan mempertahankan keadaan damai, menciptakan
ketertiban, dan keamanan, untuk kemudian diserahkan kepada
pemerintahan sipil; dan
e. mengumpulkan keterangan tentang penjahat perang untuk kemudian
diadili sesuai hukum yang berlaku.
Pasukan Sekutu yang tergabung dalam AFNEI mendarat di Jakarta pada
tanggal 29 September 1945. Kekuatan pasukan AFNEI dibagi menjadi tiga
divisi, yaitu sebagai berikut.
a. Divisi India 23 di bawah pimpinan Jenderal D.C Hawthorn. Daerah
tugasnya di Jawa bagian barat dan berpusat di Jakarta.
b. Divisi India 5 di bawah komando Jenderal E.C Mansergh bertugas di
Jawa bagian timur dan berpusat di Surabaya.
c. Divisi India 26 di bawah komando Jenderal H.M Chambers, bertugas di
Sumatra, pusatnya ada di Medan.
Kedatangan tentara Sekutu diboncengi NICA yang akan menegakkan
kembali kekuatannya di Indonesia. Hal ini menimbulkan kecurigaan terhadap
Sekutu dan bersikap anti Belanda.
Sementara Christison sebagai pemimpin AFNEI menyadari bahwa untuk
menjalankan tugasnya tidak mungkin tanpa bantuan pemerintah RI. Oleh
karena itu, Christison bersedia berunding dengan pemerintah RI. Selanjutnya,
Christison pada tanggal 1 Oktober 1945 mengeluarkan pernyataan
pengakuan secara de facto tentang negara Indonesia. Namun, dalam
kenyataannya pernyataan tersebut banyak dilanggarnya. Sebagai bukti akan
kita lihat dalam kajian di berikut ini.
Merdeka atau Mati
Kedatangan Sekutu di Indonesia menimbulkan berbagai reaksi dari masyarakat
Indonesia. Apalagi dengan memboncengnya Belanda yang ingin menguasai
kembali Indonesia. Hal ini mengakibatkan berbagai upaya penentangan
dan perlawanan dari masyarakat. Bagaimana peristiwa kekerasan akibat
kedatangan Sekutu di Indonesia terjadi? Mari kita simak kajian di bawah ini.
a. Perjuangan rakyat Semarang dalam melawan tentara Jepang
Berita proklamasi terus menyebar ke penjuru tanah air. Pemindahan
kekuasaan dari pendudukan Jepang ke Indonesia juga terus dilakukan.
Pada tanggal 19 Agustus 1945, sekitar pukul 13.00 WIB berkumandang
lewat radio tentang sebuah pernyataan dan perintah agar pemindahan
kekuasaan dari tangan Jepang ke pihak Indonesia terus dilakukan. Hal ini
semakin membakar semangat para pemuda Semarang dan sekitarnya untuk
melakukan perebutan kekuasaan.
Bahkan Wongsonegoro selaku pimpinan pemerintahan di Semarang
mengeluarkan pernyataan atau perintah sebagai berikut.
Berdasarkan atas pengumuman-pengumuman Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia dan Komite Nasional di Jakarta, maka dengan ini kami atas nama
rakyat Indonesia mengumumkan sementara aturan-aturan pernerintahan
untuk menjaga keamanan umum di daerah Semarang.
1.
Mulai hari ini tanggal 19 Agustus 1945 jam 13.00 Permerintah RI
untuk daerah Semarang mulai berlaku.
2.
Terhadap segala perbuatan yang menentang pemerintah RI akan
diambil tindakan yang keras.
3.
Senjata api, kecuali yang di tangan mereka yang berhak memakainya
harus diserahkan kepada polisi.
4.
Hanya bendera Indonesia Merah Putih boleh berkibar.
5.
Terhadap segala perbuatan yang mengganggu ketenteraman dan
kesejahteraan umum diambil tindakan keras.
6.
Selanjutnya semua penduduk hendaknya melakukan pekerjaannya
sehari-hari sebagaimana biasa.
Semarang, 19 Agustus 1945
Kepala Pemerintahan RI Daerah Semarang
Wongsonegoro
Suasana di Semarang semakin panas. Jepang tidak menghiraukan seruan
pemerintahan di Semarang. Pada tanggal 7 Oktober 1945, ribuan pemuda
Semarang mengerumuni tangsi tentara Jepang, Kedobutai di Jatingaleh.
Sementara pimpinan mereka sedang berunding di dalam tangsi untuk
membahas mengenai penyerahan senjata. Perundingan itu berjalan tersendatsendat, tetapi akhirnya disepakati penyerahan senjata secara bertahap.
Ketegangan antara kedua belah pihak terus berlanjut. Pada tanggal 14
Oktober 1945, sekitar 400 orang tawanan Jepang dari pabrik gula Cepiring
diangkut oleh para pemuda ke penjara Bulu, Semarang. Dalam perjalanan,
sebagian dari para tawanan berhasil melarikan diri dan minta perlindungan
kepada batalion Kedobutai. Oleh karena itu, tanpa menunggu perintah,
para pemuda segera menyerang dan melakukan perebutan senjata terhadap
Jepang. Terjadilah pertempuran sengit antara rakyat Indonesia melawan
pasukan Jepang. Pertempuran ini dikenal dengan Pertempuran Lima Hari di
Semarang.
Pada tanggal 14 Oktober 1945, pada petang harinya, petugas kepolisian
Indonesia yang menjaga persediaan air minum di Wungkal diserang oleh
pasukan Jepang. Mereka dilucuti dan disiksa di tangsi Kedobutai Jatingaleh.
Kemudian, di jalan Peterongan terdengar kabar bahwa air ledeng di Candi
telah diracuni oleh Jepang. Oleh karena rakyat menjadi gelisah, dr. Kariadi,
kepala laboratorium dinas Purusara Semarang ingin mengecek persediaan
air tersebut namun ia dibunuh oleh tentara Jepang. Hal ini telah menambah
sengitnya pertempuran antara para pemuda melawan tentara Jepang.
Para pemuda berhasil menangkap Mayor Jenderal Nakamura di kediamannya,
di Magelang. Tokoh Jepang ini ditahan oleh para pemuda. Hal ini semakin
meningkatkan kemarahan Jepang. Pada hari kedua dan ketiga Jepang
berusaha dapat menguasai daerah Semarang kembali.
Dalam pertempuran itu Jepang membagi pasukannya menjadi tiga kekuatan
sebagai berikut.
a.
Poros Barat, sasarannya penduduk markas Kempetai di Karangasem
yang telah dikuasai para pemuda. Selain itu, juga untuk menghambat
gerakan bantuan pasukan dari Pekalongan dan Kendal.
b.
Poros Tengah, dengan sasaran menguasai markas AMRI di Hotel Du
Pavillon.
c.
Poros Timur, dengan sasaran menduduki Sekolah Teknik dan mencegah
datangnya bantuan BKR dari Demak, Pati, dan Rembang. Sementara
itu, dari pihak Indonesia telah datang bantuan dari berbagai penjuru,
baik dari arah Barat (Kendal dan Weleri), juga dari Timur, seperti dari
Demak, Kudus, Pati, Purwodadi, bahkan dari Selatan seperti dari Solo,
Magelang, dan Yogyakarta.
Tanggal 17 Oktober 1945, tercapai suatu perundingan mengenai gencatan
senjata yang diadakan di Candi Baru. Pihak Indonesia juga menyetujui
perundingan tersebut. Sekalipun telah disepakati adanya gencatan senjata,
ternyata Jepang masih melanjutkan pertempuran. Pada tanggal 18 Oktober
1945 (hari kelima), Jepang berhasil mematahkan berbagai serangan para
pemuda. Pada hari itu, telah datang beberapa utusan pemerintah pusat dari
Jakarta untuk merundingkan soal keamanan dan perdamaian di Semarang.
Beberapa tokoh yang hadir dari Jakarta waktu itu, antara lain Kasman
Singodimejo dan Sartono. Pihak Jepang yang hadir, antara lain Jenderal
Nakamura. Kemudian, dilanjutkan perundingan untuk mengatur gencatan
senjata. Nakamura mengancam akan mengebom kota Semarang, apabila para pemuda tidak mau menyerahkan senjata paling lambat tanggal 19
Oktober 1945 pukul 10.00. Wongsonegoro terpaksa menyetujui dengan
membubuhkan tanda tangan pada perjanjian itu.
Pada tanggal 19 Oktober 1945 pagi hari, belum ada tanda-tanda semua
senjata akan diserahkan kembali kepada Jepang. Sementara Jepang telah
bersiap-siap untuk membumihanguskan kota Semarang. Tiba-tiba pukul
07.45 terpetik berita bahwa tentara Sekutu mendarat di Pelabuhan Semarang
dengan menumpang kapal HMS Glenry. Mereka terdiri atas pasukan Inggris,
termasuk tentara Gurkha. Mereka bertugas untuk melucuti tentara Jepang.
Dengan kedatangan tentara Sekutu, berarti telah mempercepat berakhirnya
pertempuran antara pejuang Semarang dengan tentara Jepang. Untuk
mengenang pertempuran Lima Hari di Semarang ini, maka dibangun sebuah
monumen yang terkenal dengan sebutan Tugu Muda.
b. Pengambilalihan Kekuasaan Jepang di Yogyakarta
Di Yogyakarta, perebutan kekuasaan secara serentak dimulai pada tanggal
26 September 1945. Sejak pukul 10 pagi, semua pegawai instansi pemerintah
dan perusahaan-perusahaan yang dikuasai oleh Jepang mengadakan aksi
pemogokan. Mereka memaksa orang-orang Jepang agar menyerahkan
semua kantor mereka kepada orang Indonesia. Pada tanggal 27 September
1945, KNI Daerah Yogyakarta mengumumkan bahwa kekuasaan di daerah
itu telah berada di tangan Pemerintahan RI.
Kepala Daerah Yogyakarta yang dijabat oleh Jepang (Cokan) harus
meninggalkan kantornya di jalan Malioboro. Tanggal 5 Oktober 1945,
gedung Cokan Kantai berhasil direbut dan kemudian dijadikan sebagai
kantor Komite Nasional Indonesia Daerah. Gedung Cokan Kantai kemudian
dikenal dengan Gedung Nasional atau Gedung Agung.
Satu hari setelah perebutan gedung Cokan Kantai, para pejuang Yogyakarta
ingin melakukan perebutan senjata dan markas Osha Butai di Kotabaru.
Rakyat dan para pemuda terus mengepung markas Osha Butai di Kotabaru.
Rakyat dan para pemuda terdiri dari berbagai kesatuan, antara lain TKR,
Polisi Istimewa, dan BPU (Barisan Penjagaan Umum) sudah bertekad untuk
menyerbu markas Jepang di Kotabaru.
Sekitar pukul 03.00 WIB tanggal 7 Oktober 1945, terjadilah pertempuran
antara rakyat, pemuda, dan kesatuan dengan tentara Jepang di Yogyakarta.
Butaico Pingit segera menghubungi TKR dan menyatakan menyerah, dengan
jaminan anak buahnya tidak disiksa. Hal ini diterima baik oleh TKR. Kemudian,
TKR meminta agar Butaico Pingit dapat mempengaruhi Butaico Kotabaru
untuk menyerah. Ternyata Butaico menolak untuk menyerah. Akibatnya
serangan para pejuang Indonesia semakin ditingkatkan.
Akhirnya pada tanggal 7 Oktober 1945 sekitar pukul 10.00, markas
Jepang di Kotabaru secara resmi diserahkan ke tangan Yogyakarta. Dalam
pertempuran itu, pihak Indonesia yang gugur 21 orang dan 32 orang lukaluka. Sedangkan dari pihak Jepang, 9 orang tewas dan 15 orang luka-luka.
Setelah markas Kotabaru jatuh, usaha perebutan kekuasaan meluas. R.P.
Sudarsono kemudian memimpin perlucutan senjata Kaigun di Maguwo.
Dengan berakhirnya pertempuran Kotabaru dan dikuasainya Maguwo, maka
Yogyakarta berada di bawah kekuasaan RI.
c. Arek-arek Surabaya untuk Indonesia
Perhatikan gambar tokoh
pahlawan berikut ini! Apakah
kamu mengenal tokoh tersebut?
Beliau bernama Bung Tomo,
terkenal karena perjuangannya
dalam pertempuran Surabaya
pada tahun 1945. Pertempuran
rakyat Surabaya dengan Sekutu
terjadi pada tahun 1945 tersebut,
menyebabkan ribuan rakyat yang
gugur. Karena itulah bangsa
Indonesia menetapkan tanggal 10 November sebagai Hari Pahlawan.
Semangat tempur arek-arek Surabaya dalam melawan pasukan Sekutu, tidak
dapat dilepaskan dari kemenangannya melawan kekuatan Jepang di Surabaya dan
sekitarnya. Arek-arek Surabaya berhasil menyerbu dan menguasai markas Kempetai
yang terletak di depan Kantor Gubernur Surabaya. Semua senjata Kempetai Jepang
dilucuti. Pertempuran meluas ke Markas Angkatan Laut Jepang di Embong Wungu.
Markas Jepang ini juga berhasil dikuasai para pejuang. Gudang peluru di Kedung
Cowek juga berhasil direbut oleh arek-arek Surabaya. Pertempuran perebutan
kekuasaan terhadap Jepang ini berakhir setelah komandan Angkatan Darat Jepang
Jenderal Iwabe menyerah dan menyusul komandan Angkatan Laut Laksamana
Shibata. Semua kapal perang dan senjata serta pangkalannya diserahkan kepada
pejuang Indonesia.
Pada tanggal 25 Oktober 1945,
Brigade 49 di bawah pimpinan Brigadir
Jenderal A.W.S. Mallaby mendarat di
Surabaya. Brigade ini adalah bagian
dari Divisi India ke-23, di bawah
pimpinan Jenderal D.C. Hawthorn.
Mereka mendapat tugas dari panglima
Allied forces for Netherlands East
Indies (AFNEI) untuk melucuti serdadu
Jepang dan menyelamatkan para
interniran Sekutu. Kedatangan mereka
diterima oleh pemimpin pemerintah
Jawa Timur, Gubernur Suryo. Setelah
diadakan pertemuan antara wakil-wakil
pemerintah RI dengan Mallaby, maka
dihasilkan kesepakatan sebagai berikut.
1)
Inggris berjanji bahwa di antara tentara mereka tidak terdapat
Angkatan Perang Belanda.
2)
Disetujui kerja sama antara kedua belah pihak untuk menjamin
keamanan dan ketentraman.
3)
Akan segera dibentuk “Kontak Biro” agar kerja sama dapat terlaksana
sebaik-baiknya.
4)
Inggris hanya akan melucuti senjata Jepang saja.
Namun, pada perkembangan selanjutnya, ternyata pihak Inggris mengingkari
janjinya. Pada malam hari tanggal 26 Oktober 1945, peleton dari Field
Security Section di bawah pimpinan Kapten Shaw, melakukan penyergapan
ke penjara Kalisosok. Mereka akan membebaskan Kolonel Huiyer—seorang
Kolonel Angkatan Laut Belanda—beserta kawan-kawannya. Tindakan Inggris
dilanjutkan pada keesokan harinya dengan menduduki Pangkalan Udara
Tanjung Perak, Kantor Pos Besar, Gedung Internatio, dan objek-objek vital
lainnya.
Pada tanggal 27 Oktober 1945, terjadi kontak senjata yang pertama antara
pemuda Indonesia dengan pasukan Inggris. Kontak senjata itu meluas
sehingga terjadi pertempuran pada tanggal 28, 29, dan 30 Oktober 1945.
Dalam pertempuran itu, pasukan Sekutu dapat dipukul mundur, bahkan
hampir dapat dihancurkan oleh pasukan Indonesia. Beberapa objek vital
yang telah dikuasai oleh pihak Inggris berhasil direbut kembali oleh rakyat.
Melihat kenyataan seperti itu, komandan pasukan Sekutu menghubungi
Presiden Sukarno untuk mendamaikan perselisihan antara para pejuang
Indonesia dengan pasukan Sekutu (Inggris) di Surabaya. Pada tanggal 30
Oktober 1945, Bung Karno, Bung Hatta, dan Amir Syarifuddin datang ke
Surabaya untuk mendamaikan perselisihan itu. Perdamaian berhasil dicapai
dan ditandatangani oleh kedua belah pihak. Salah satu kesepakatannya
adalah untuk menjaga keamanan di Surabaya dan sekitarnya. Karena dirasa
perlu terus dilakukan komunikasi antara kedua pihak, maka dibentuklah
Kontak Biro yang anggotanya tokoh-tokoh dari Indonesia seperti Residen
Sudirman, Dul Arnawa dan Sungkana, sedangkan dari pihak Inggris antara
lain Mallaby dan Shaw. Namun, setelah Sukarno, Hatta, dan Amir Syarifuddin
beserta Hawthorn kembali ke Jakarta, ternyata masih terjadi pertempuran di
beberapa tempat.
Pada tanggal 30 Oktober 1945, dengan berkendaraan beberapa mobil,
para anggota Kontak Biro berusaha menuju gedung Internatio yang masih
terjadi kontak senjata. Pada saat itu, gedung ini diduduki oleh tentara
Inggris. Arek-arek Surabaya mengepung gedung itu dan menuntut agar
gedung itu dikosongkan. Kedatangan Kontak Biro yang di dalamnya ada
Mallaby itu, membuat arek-arek Surabaya menuntut agar Mallaby dan
tentara Inggris menyerah. Kebetulan hari itu sudah mulai gelap. Ketika itu
rombongan Mallaby sedang berada di tempat perhentian trem listrik yang
terletak beberapa belas meter sebelah utara Jembatan meledak, waktu itu kira-kira pukul 20.30. Ternyata mobil yang ditumpangi Mallaby meledak
dan ditemukan Mallaby tewas. Tewasnya Brigjen Mallaby ini memancing
kemarahan pasukan Inggris. Pada tanggal 9 November 1945, Mayjen E.C.
Mansergh, sebagai pengganti Mallaby mengeluarkan ultimatum agar pihak
Indonesia di Surabaya meletakkan senjata selambat-lambatnya jam 06.00
tanggal 10 November 1945. Inggris mengeluarkan ultimatum yang berisi ancaman bahwa pihak Inggris akan menggempur kota Surabaya dari Darat,
Laut, dan Udara, apabila orang-orang Indonesia tidak mau menaati ultimatum
itu. Inggris juga mengeluarkan instruksi yang isinya “………semua pemimpin
bangsa Indonesia dari semua pihak di kota Surabaya harus datang selambatlambatnya tanggal 10 November 1945 pukul 06.00 pada tempat yang telah
ditentukan dan membawa bendera merah putih dengan diletakkan di atas
tanah pada jarak 100 m dari tempat berdiri, lalu mengangkat tangan tanda
menyerah.”
Akhirnya pertempuran berkobar di Surabaya. Inggris mengerahkan semua
kekuatan yang dimilikinya. Pada tanggal 10 November 1945, terjadi
pertempuran sengit di Surabaya. Salah satu tokoh pemuda, yaitu Sutomo (Bung Tomo) telah mendirikan Radio Pemberontakan untuk mengobarkan
semangat juang arek-arek Surabaya. Pada saat terjadi pertempuran di
Surabaya, Bung Tomo berhasil memimpin dan mengendalikan kekuatan
rakyat melalui pidato-pidatonya. Di dalam pidatonya melalui radio yang
begitu berapi-api dan selalu dimulai dan diakhiri dengan teriakan takbir,
“Allahu Akbar”. Tokoh lain, misalnya Ktut Tantri, yakni wanita Amerika
yang juga aktif dalam mengumandangkan pidato-pidato revolusinya dalam
bahasa Inggris melalui Radio Pemberontakan Bung Tomo.
Sungkono sebagai Komandan Pertahanan Kota, pada tanggal 9 November
1945 pukul 17.00 mengundang semua unsur kekuatan rakyat, yang terdiri
dari Komandan TKR, PRI, BPRI, Tentara Pelajar, Polisi Istimewa, BBI, PTKR, dan
TKR Laut untuk berkumpul di Markas Pregolan 4.
Kota Surabaya dibagi dalam 3 sektor pertahanan, yaitu Sektor Barat,
Tengah dan Timur. Sektor Barat dipimpin oleh Kunkiyat, Sektor Tengah
antara lain dipimpin oleh Marhadi, sedangkan Sektor Timur dipimpin oleh
Kadim Prawirodiarjo. Sementara itu Sukarno membakar semangat juang
rakyat lewat radio. Sesudah batas waktu ultimatum habis, keadaan semakin
ekplosif. Kontak senjata pertama terjadi di Perak, yang berlangsung sampai
jam 18.00. Inggris berhasil menguasai garis pertahanan pertama. Gerakan
pasukan Inggris disertai dengan pengeboman yang ditujukan pada sasaran
yang diperkirakan menjadi tempat pemusatan pemuda. Surabaya yang
telah digempur oleh Inggris berhasil dipertahankan oleh para pemuda
hampir 3 minggu lamanya. Sektor demi sektor dipertahankan secara gigih,
walaupun pihak Inggris menggunakan senjata-senjata modern dan berat.
Pertempuran yang terakhir terjadi di Gunungsari pada 28 November 1945,
namun perlawanan secara sporadis masih dilakukan. Markas pertahanan
Surabaya dipindahkan ke desa yang terkenal dengan sebutan Markas Kali.
Kejadian ini merupakan sebuah lambang keberanian dan kebulatan tekad
dalam mempertahankan kemerdekaan dan membela Tanah Air Indonesia
dari segala bentuk penjajahan.
Pertempuran di Surabaya telah menunjukkan begitu heroiknya para pejuang
kita untuk melawan kekuatan asing. Untuk mengenang, peristiwa itu, maka
tanggal 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan.
d. Pertempuran Palagan Ambarawa
Pertempuran Ambarawa terjadi pada tanggal 29 November dan berakhir
pada 15 Desember 1945 antara pasukan TKR dan pemuda Indonesia
melawan pasukan Inggris. Latar belakang dari peristiwa ini dimulai dengan
insiden yang terjadi di Magelang sesudah mendaratnya Brigade Artileri
dari Divisi India ke-23 di Semarang pada tanggal 20 Oktober 1945. Oleh
pihak RI mereka diperkenankan untuk mengurus tawanan perang yang
berada di penjara Ambarawa dan Magelang. Ternyata mereka diboncengi
oleh tentara Nederland Indische Civil Administration (NICA) yang kemudian
mempersenjatai bekas tawanan itu. Pada tanggal 26 Oktober 1945 pecah
insiden Magelang yang berkembang menjadi pertempuran antara TKR dan
tentara Sekutu. Insiden itu berhenti setelah kedatangan Presiden Sukarno
dan Brigadir Jenderal Bethell di Magelang pada tanggal 2 November 1945.
Mereka mengadakan perundingan gencatan senjata dan tercapai kata
sepakat yang dituangkan ke dalam 12 pasal, diantaranya sebagai berikut.
1)
Pihak Sekutu tetap menempatkan pasukannya di Magelang untuk
melakukan kewajibannya melindungi dan mengurus evakuasi Allied
Prisoners War and Interneers (APWI-tawanan perang dan interniran
Sekutu);
2)
Jalan raya Magelang-Ambarawa terbuka bagi lalu lintas IndonesiaSekutu; dan
3)
Sekutu tidak akan mengakui aktivitas NICA dalam badan-badan yang
berada di bawahnya.
Ternyata pihak Sekutu ingkar janji. Pada tanggal 20 November 1945 di
Ambarawa pecah pertempuran antara pasukan TKR di bawah pimpinan
Mayor Sumarto melawan tentara Sekutu. Pada tanggal 21 November 1945
pasukan Sekutu yang berada di Magelang ditarik ke Ambarawa di bawah
lindungan pesawat tempur. Namun, tanggal 22 November 1945 pertempuran
berkobar di dalam kota dan pasukan Sekutu melakukan pengeboman
terhadap kampung-kampung yang berada di sekitar Ambarawa. Pasukan
TKR bersama pemuda dari Boyolali, Salatiga, Kartosuro bertahan di kuburan
Belanda, sehingga membentuk garis medan sepanjang rel kereta api dan
membelah kota Ambarawa. Sementara itu, dari arah Magelang pasukan
TKR dan Divisi V/Purwokerto di bawah pimpinan Imam Adrongi melakukan
serangan fajar pada tanggal 21 November 1945 dengan tujuan memukul
mundur pasukan Sekutu yang berkedudukan di Desa Pingit. Pasukan Imam
Adrongi berhasil menduduki Desa Pingit dan merebut desa-desa sekitarnya.
Sementara itu, Batalion
Imam Adrongi meneruskan
gerakan pengejarannya.
Kemudian disusul 3
batalion yang berasal
dari Yogyakarta, yaitu
batalion 10 Divisi III di
bawah pimpinan Mayor
Suharto, batalion 8 di
bawah pimpinan Mayor
Sarjono, dan Batalion
Sugeng. Musuh akhirnya
terkepung. Walaupun
demikian, pasukan musuh
mencoba mematahkan
pengepungan dengan
mengadakan gerakan
melambung dan
mengancam kedudukan
pasukan Indonesia dari
belakang dengan tanktanknya. Untuk mencegah
jatuhnya korban, pasukan
mundur ke Bedono.
Dengan bantuan resimen
kedua yang dipimpin M.
Sarbini, batalion Polisi
Istimewa yang dipimpin Onie Sastroatmojo dan batalion dari Yogyakarta,
gerakan musuh berhasil ditahan di Desa Jambu.
Di Desa Jambu para komandan mengadakan rapat koordinasi yang dipimpin
oleh Kolonel Holland Iskandar. Rapat itu menghadirkan pembentukan
komando yang disebut Markas Pimpinan Pertempuran dan bertempat di
Magelang. Sejak saat Ambarawa dibagi atas 4 sektor, yaitu sektor Utara, sektor
Selatan, sektor Barat dan sektor Timur. Kekuatan pasukan bertempur secara
bergantian. Pada tanggal 26 November 1945 pimpinan pasukan TKR dari
Purwokerto yaitu Letkol Isdiman gugur. Setelah mengetahui Isdiman gugur
maka pimpinan pasukan TKR Purwokerto Kolonel Sudirman turun langsung
memimpin pasukan. Kehadiran Sudirman ini semakin menambah semangat
tempur TKR dan para pejuang yang sedang bertempur di Ambarawa. Kolonel Sudirman menyodorkan taktik perang Supit
Urang. Taktik ini segera diterapkan. Musuh
mulai terjepit dan situasi pertempuran semakin
menguntungkan pasukan TKR. Sejak saat itu,
pimpinan pasukan TKR Purwokerto dipimpin
oleh Kolonel Sudirman. Situasi pertempuran
menguntungkan pasukan TKR. Pada tanggal
5 Desember 1945, musuh terusir dari Desa
Banyubiru, yang merupakan garis pertahanan
yang terdepan.
Pada tanggal 12 Desember 1945 dini hari,
pasukan TKR bergerak menuju sasaran masingmasing. Dalam waktu setengah jam pasukan
TKR berhasil mengepung musuh di dalam kota.
Pertahanan musuh yang terkuat diperkirakan
berada di Benteng Willem yang terletak
di tengah-tengah kota Ambarawa. Kota
Ambarawa dikepung selama empat hari empat malam. Musuh yang merasa
kedudukannya terjepit berusaha keras untuk melakukan pertempuran.
Pada tanggal 15 Desember 1945 musuh meninggalkan Kota Ambarawa
dan mundur ke Semarang. Pertempuran di Ambarawa ini mempunyai arti
penting karena letaknya yang sangat strategis. Apabila musuh menguasai
Ambarawa, mereka dapat mengancam 3 kota utama di Jawa Tengah, yaitu
Surakarta, Magelang dan Yogyakarta.
Dalam pertempuran itu, pasukan TKR mengalami kemenangan yang
gemilang. Menyambut kemenangan itu Sudirman yang masih berpakaian
perang langsung mengambil air wudu dan segera melakukan sujud syukur
seraya berdoa:
"Ya Allah ya Tuhan, Maha Besar dan Maha Kuasa Engkau. Engkaulah sumber kekuatan dan
kemenangan. Ampunilah hamba-Mu yang lemah dan dhaif ini dan berikan kami kekuatan”.
Kemenangan pertempuran Ambarawa ini cepat menyebar ke pos-pos
pertahanan TKR, bahkan sampai ke dapur-dapur umum. Hal ini semakin
menambah semangat juang pada pejuang di medan tempur.
Dengan kemenangan ini nama Sudirman semakin populer sebagai
komandan dan pimpinan TKR. Kemenangan ini juga menunjukkan bahwa
Republik Indonesia masih memiliki pasukan yang kuat yaitu pasukan TKR
dan rakyat yang menolak kembalinya penjajah di bumi pertiwi Indonesia.
Untuk mengenang pertempuran Ambarawa, tanggal 15 Desember dijadikan
Hari Infanteri. Di Ambarawa juga dibangun Monumen Palagan, Ambarawa.
e. Pertempuran Medan Area
Pada tanggal 9 November 1945, pasukan Sekutu di bawah pimpinan Brigadir
Jenderal T.E.D. Kelly mendarat di Sumatra Utara. Pendaratan pasukan Sekutu
itu diboncengi oleh pasukan NICA yang telah dipersiapkan untuk mengambil
alih pemerintahan. Pemerintahan RI Sumatra Utara memperkenankan mereka
menempati beberapa hotel di Medan, seperti Hotel de Boer, Grand Hotel,
Hotel Astoria dan lainnya, karena menghormati tugas mereka. Sebagian
dari mereka ditempatkan di Binjai, Tanjung Morawa dan beberapa tempat
lainnya dengan memasang tenda-tenda lapangan.
Sehari setelah mendarat, tim dari RAPWI telah mendatangi kamp-kamp
tawanan di Pulu Berayan, Saentis, Rantau Prapat, Pematang Siantar dan
Berastagi untuk membantu membebaskan para tawanan dan dikirim
ke Medan atas persetujuan Gubernur M. Hasan. Ternyata kelompok itu
langsung dibentuk menjadi Medan Batalion KNIL. Dengan kekuatan itu,
maka tampaklah perubahan sikap dari bekas tawanan tersebut. Mereka
bersikap congkak karena merasa sebagai pemenang atas perang. Sikap ini
memancing timbulnya pelbagai insiden yang dilakukan secara spontan oleh
para pemuda. Insiden pertama terjadi di Jalan Bali, Medan pada tanggal 13
Oktober 1945. Insiden ini berawal dari ulah seorang penghuni hotel yang
merampas dan menginjak-injak lencana Merah Putih yang dipakai oleh salah
seorang yang ditemuinya. Akibatnya hotel tersebut diserang dan dirusak
oleh para pemuda.
Insiden ini menjalar ke berbagai kota seperti
Pematang Siantar dan Brastagi. Sementara itu,
pada tanggal 10 Oktober 1945 dibentuk TKR
Sumatra Timur dengan pimpinannya Ahmad
Tahir. Selanjutnya diadakan pemanggilan
terhadap bekas Giyugun dan Heiho ke Sumatra
Timur. Panggilan ini mendapat sambutan luar
biasa dari mereka. Di samping TKR, di Sumatra
Timur terbentuk juga badan-badan perjuangan
yang sejak 15 Oktober 1945 menjadi Pemuda
Republik Indonesia Sumatra Timur dan
kemudian berganti nama menjadi Pesindo.
Sebagaimana di kota-kota lain di Indonesia,
Inggris memulai aksinya untuk memperlemah
kekuatan Republik dengan cara memberikan ultimatum kepada bangsa
Indonesia agar menyerahkan senjatanya kepada Sekutu. Hal ini dilakukan
pula oleh Kelly terhadap pemuda Medan pada tanggal 18 Oktober1945.
Sejak saat itu tentara NICA merasa memperoleh dukungan dari pihak
Inggris. Demikian pula pasukan Sekutu mulai melakukan aksi-aksi terornya,
sehingga timbul rasa permusuhan di kalangan pemuda. Patroli-patroli Inggris
tidak pernah merasa aman, karena pemerintah Republik Indonesia tidak
memberikan jaminan keamanan. Meningkatnya korban di pihak Inggris
menyebabkan mereka memperkuat kedudukannya dan menentukan sendiri
secara sepihak batas kekuasaannya.
Pada tanggal 1 Desember 1945, pihak Sekutu memasang papan-papan
yang bertuliskan Fixed Boundaries Medan Area di berbagai sudut pinggiran
kota Medan. Tindakan pihak Inggris itu merupakan tantangan bagi para
pemuda. Pihak Inggris bersama NICA melakukan aksi pembersihan terhadap
unsur-unsur Republik yang berada di kota Medan. Para pemuda membalas
aksi-aksi tersebut, setiap usaha pengusiran dibalas dengan pengepungan,
bahkan seringkali terjadi tembak menembak. Pada tanggal 10 Desember
1945, pasukan Inggris dan NICA berusaha menghancurkan konsentrasi
TKR di Trepes. Selanjutnya TKR menculik seorang perwira Inggris dan
menghancurkan beberapa truk. Dengan peristiwa ini Jenderal Kelly kembali
mengancam para pemuda agar menyerahkan senjata mereka. Barang siapa
yang nyata-nyata melanggar akan ditembak mati. Daerah yang ditentukan
adalah kota Medan dan Belawan. Perlawanan terus memuncak, pada bulan
April 1946 tentara Inggis mulai berusaha mendesak pemeintah RI ke luar kota Medan. Gubernur, Markas Divisi TKR, Walikota RI pindah ke Pematang
Siantar. Dengan demikian Inggris berhasil menguasai kota Medan.
Pada tanggal 10 Agustus 1946 di Tebingtinggi diadakan suatu pertemuan
antara komandan-komandan pasukan yang berjuang di Medan Area.
Pertemuan memutuskan dibentuknya satu komando yang bernama
“Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area” yang dibagi atas 4 sektor
dan bermarkas di Sudi Mengerti (Trepes). Di bawah komando inilah mereka
meneruskan perjuangan di Medan Area.
f. Bandung Lautan Api
Di Bandung pertempuran diawali oleh usaha para pemuda untuk merebut
pangkalan udara Andir dan pabrik senjata bekas Artillerie Constructie Winkel
(ACW-sekarang Pindad) dan berlangsung terus sampai kedatangan pasukan
Sekutu di Bandung pada 17 Oktober 1945. Seperti halnya di kota-kota lain,
di Bandung pun pasukan Sekutu dan NICA melakukan teror terhadap rakyat,
sehingga terjadi pertempuran-pertempuran. Menjelang bulan November
1945, pasukan NICA semakin merajalela di Bandung. NICA memanfaatkan
kedatangan pasukan Sekutu untuk mengembalikan kekuasaan kolonialnya di
Indonesia. Namun, semangat juang rakyat dan para pemuda yang tergabung
dalam TKR, laskar-laskar dan badan-badan perjuangan semakin berkobar.
Pertempuran demi pertempuran terjadi.
Pada bulan Oktober di Bandung telah terbentuk Majelis Dewan Perjuangan
yang dipimpin panglima TKR, Aruji Kartawinata. Dewan perjuangan ini terdiri
atas wakil-wakil TKR dan berbagai kelaskaran. Pada tanggal 21 November
1945 Sekutu mengeluarkan ultimatum agar para pejuang menyerahkan
senjata dan mengosongkan Bandung Utara. Ternyata ultimatum itu tidak
diindahkan oleh pihak pejuang. Insiden terjadi, para pemuda melakukan
penyerobotan terhadap kendaraan-kendaraan Belanda yang berlindung di
bawah Sekutu. Penculikan juga sering terjadi.
Peristiwa yang memperburuk keadaan terjadi pada tanggal 25 November
1945. Selain menghadapi serangan musuh, rakyat menghadapi banjir besar
meluapnya Sungai Cikapundung. Ratusan korban terbawa hanyut dan ribuan
penduduk kehilangan tempat tinggal. Keadaan ini dimanfaatkan musuh
untuk menyerang rakyat yang tengah menghadapi musibah.
Dalam suasana yang demikian itu, Majelis Dewan Perjuangan tidak sabar
menunggu reaksi dari pemerintah. Majelis yang terdiri dari berbagai kesatuan
ini memutuskan untuk melancarkan perlawanan. Pada malam hari tanggal
24 - 25 November 1945 rakyat Bandung melancarkan serangan terhadap
posisi-posisi Sekutu dan NICA.
Tanggal 23 Maret 1946, pihak Sekutu kembali mengeluarkan ultimatum.
Isi ultimatum itu adalah agar TRI mengosongkan seluruh kota Bandung dan
mundur ke luar kota dengan jarak 11 km. Untuk menghindari penderitaan
rakyat dan kehancuran kota Bandung, maka Pemerintah RI menyetujui untuk
melaksanakan pengosongan kota Bandung.
Kolonel Abdul Haris Nasution sebagai Komandan Divisi III Siliwangi
menginstruksikan rakyat untuk mengungsi pada tanggal 24 Maret 1946.
Malam harinya bangunan-bangunan penting mulai dibakar dan ditinggalkan
mengungsi ke Bandung Selatan oleh sekitar 200.000 warganya. Kota
Bandung yang terbakar ini juga disaksikan oleh istri Otto Iskandardinata yang
masih menunggu kabar kepastian hilangnya sang suami. Warga mengungsi
dengan membawa barang seadanya, sebagian mengatur perjalanan ke
pengungsian, sebagian menyelamatkan dokumen-dokumen kota, sebagian
membakar gedung-gedung penting, bahkan meledakkan bangunanbangunan besar, hingga instalasi militer pun dihancurkan, salah satunya
gudang mesiu yang diledakkan oleh Mohammad Toha yang gugur bersama
ledakan. Tengah malam kota Bandung yang terbakar telah ditinggalkan.
Menyisakan kenangan perjuangan Bandung Lautan Api.
Peristiwa tersebut dikenang hingga kini. Mars Halo Halo Bandung diciptakan.
Kemudian monumen pun didirikan di lapangan Tegalega. Sineas pun tak
luput menjadikan peristiwa tersebut dalam film “Toha Pahlawan Bandung
Selatan”, sebuah film karya Usmar Ismail, juga film “Bandung Lautan Api”
karya Alam Rengga Surawijaya. Tak ketinggalan penulis puisi W.S. Rendra
juga mengabadikan dalam Sajak Seorang Tua tentang Bandung Lautan Api.
g. Berita Proklamasi di Sulawesi
Berita proklamasi yang dikumandangkan oleh Sukarno dan Moh. Hatta,
sampai pula di Sulawesi. Sam Ratulangi, yang saat itu menjabat sebagai
Gubernur Sulawesi, yang berkedudukan di Makasar mendapat tugas dari PPKI untuk menyusun Komite Nasional Indonesia. Sementara itu, para
pemuda Sulawesi memperbanyak teks proklamsi untuk disebarluaskan
keseluruh pelosok penjuru. Atas inisiatif Manai Shopian dan kawan-kawan,
dibuat plakat proklamasi di rumah A. Burhanuddin dan di kantor pewarta
Celebes, yang kemudian diganti nama dengan Soeara Indonesia.
Saat itu tentara Sekutu dengan cepat dapat menguasai Indonesia bagian
Timur, termasuk Sulawesi. Upaya Sam Ratulangi untuk menyampaikan berita
proklamasi ke penjuru Sulawesi mendapat halangan dari tentara Sekutu.
Para pemuda mulai mengorganisasi diri dan merencanakan untuk merebut
gedung-gedung vital. Pada tanggal 28 Oktober 1945, kelompok pemuda
yang terdiri dari bekas Kaigun, Heiho dan pelajar SMP, bergerak menuju
sasarannya dan mendudukinya. Akibat peristiwa itu pasukan Australia yang
telah ada, bergerak dan melucuti para pemuda. Sejak itu pusat gerakan
pemuda dipindahkan dari Ujungpandang ke Polombangkeng. Bahkan Sam
Ratulangi kemudian ditangkap oleh NICA dan diasingkan ke Serui, Papua.
Berita proklamasi di Sulawesi Tenggara diterima di Kolaka, Kendari. Mulamula berita diterima oleh kalangan Kaigun dan Heiho yang dibawa oleh
tentara Jepang. Saat itu yang bertugas memimpin Heiho adalah Idie Heiso
dan Sudamitsu Heiso. Sementara berita proklamasi baru diketahui oleh rakyat
Muna, saat Jepang menyerahkan pemerintahan Muna kepada Ode Ipa yang
kemudian meninggalkan Muna menuju Kendari. Di Buton berita proklamasi
diterima rakyat dari para pelayar yang tiba dari Jakarta dan Bangka serta dari
orang-orang Jepang yang datang ke Makassar. Mula-mula berita itu diterima
di Kepulauan Tukang Besi (Wakatobi). Di Sulawesi Tengah, berita proklamasi
diterima pada tanggal 17 Agustus pada pukul 15.00 waktu setempat. Berita
itu diterima Abdul Latief dari tentara Jepang yang dikawal dari dua tentara
Heiho dari Sulawesi Selatan, yaitu Saleh Topetu dan Djafar. Perwira itu
mengatakan “Bangsa Indonesia sudah merdeka”.
Di Manado, berita proklamasi pertama kali diterima di markas besar tentara
Jepang yang berkedudukan di Minahasa. Di Markas itu terdapat alat-alat
sarana komunikasi yang mempekerjakan tenaga Indonesia diantaranya adalah
A.S. Rombot. Saat itu, Rombot sedang mendapat tugas untuk menerima
berita Domei dari Tokyo. Pada saat itulah berita tentang proklamasi yang
disebarkan di seluruh penjuru dunia itu diketahuinya, tepatnya pada 18
Agustus 1945. Berita itu diterimanya bersamaan dengan berita kapitulasi
Jepang dan perintah genjatan senjata. Segera setelah bertugas Rombot
mengontak W.F. Sumati yang saat itu sebagai daidancho boo ei Teisintai di Tondano. Kedua tokoh itu kemudian menyampaikan berita proklamasi itu
ke tokoh-tokoh nasionalis. Berita itu kemudian disebarkan ke Sangir Talaud,
Bolaang Mongondow, dan Gorontalo.
Setelah berita proklamasi kemerdekaan tersebar keseluruh penjuru Sulawesi,
sejak itu pula bendera merah putih mulai berkibar menjadi lambang Indonesia
merdeka. Cita-cita yang sudah lama diinginkan oleh rakyat pun terwujud.
Di Sulawesi Tenggara misalnya, bendera merah putih dikibarkan pada 17
September 1945 dengan dipimpin oleh D. Andi Kasim. Di Lasusua bendera
merah putih dikibarkan pada 5 Oktober 1945 yang dihadiri oleh kepala distrik
Patampanua dan beberapa pimpinan pemuda RI dari Luwu.
Sementara itu, pada 14 Februari 1946, B.W. Lapian sebagai pemimpin sipil
pada saat itu memimpin pasukan pemuda bersama Letkol. Ch. Taulu dan
Serda S.D. Wuisan merobek bagian biru pada bendera Belanda di tangsi
militer Belanda, di Teling, Menado. Peristiwa heroik itu menandai berkibarnya
bendera merah putih.
h. Operasi Lintas Laut Banyuwangi – Bali
Operasi lintas Laut Banyuwangi-Bali merupakan operasi gabungan dan
pertempuran laut pertama sejak berdirinya negara Republik Indonesia.
peristiwa itu dimulai dengan kedatangan Belanda dengan membonceng
Sekutu, mendarat di Bali dengan jumlah pasukan yang cukup besar, tanggal
3 Maret 1946. Hal ini dimaksudkan Bali sebagai batu loncatan untuk
menyerbu Jawa Timur yang dinilai sebagai lumbung pangan untuk kemudian
mengepung pusat kekuasaan RI. Bali juga dapat dijadikan penghubung ke
arah Australia.
Dengan perkembangan di atas, maka telah mengalihkan konfrontasi dari
Indonesia melawan Jepang berganti menjadi Indonesia melawan Belanda.
Berkaitan dengan hal tersebut, maka para pemimpin perjuangan yang
sudah sampai di Jawa berusaha mencari bantuan dan membentuk kesatuankesatuan tempur. Mereka antara lain telah membentuk Pasukan Markadi
atau Pasukan Merdeka sebagai pasukan induk. Pasukan itu kemudian lebih
dikenal dengan nama Pasukan M. Kapten Markadi sebelumnya bertugas
mendampingi Kolonel Prabowo, Kolonel Munadi dan Letkol I Gusti Ngurah
Rai ke markas besar TRI di Yogyakarta untuk meminta bantuan, karena makin
lemahnya kekuatan TRI Sunda Kecil di Bali.
Kondisi itu mendorong Letjen. Urip Sumoharjo di Markas Besar TRI Yogyakarta
untuk memutuskan memperkuat TRI Sunda Kecil dengan bantuan senjata
dan amunisi kepada I Gusti Ngurah Rai. Untuk itulah Pasukan M berperan
penopang Pasukan Sunda Kecil di bawah Pimpinan Ngurah Rai. Pasukan ini
juga dilengkapi pasukan sandi yang disebut CIS (Combat Intelligent Section)
yang terdiri dari para pelajar. Disiapkanlah tiga pasukan untuk memblokade
pasukan Belanda. Pasukan angkatan laut dipimpin oleh Kapten Makardi
dan Waroka. Angkatan Darat di bawah pimpinan Letkol I Gusti Ngurah Rai.
Operasi itu direncanakan melalui tiga titik pendaratan. Pasukan Waroka
mendarat di Pantai Gerokgak dan Celuk Bawang. Pasukan Markadi mendarat
di antara Cupel dan Candi Kusuma, Jembrana dan Pasukan I Gusti Gurah
Rai mendarat di Pantai Yeh Kuning. Operasi rahasia itu ditujukan untuk
mendapatkan informasi intelijen yang akurat.
Pasukan diberangkatkan dari Muncar Banyuwangi dengan sasaran daerah
Kuning dan terus ke Munduk Malang. Penyeberangan dilaksanakan malam
hari. Rombongan ini dalam penyeberangannya di tengah laut dipergoki
oleh patroli Belanda dan langsung menembaki ke arah rombongan pasukan
Ngurah Rai. Akibatnya Cokorde Rai Gambir dan Cokorde Dharma Putra
gugur. Sebagian berhasil mendarat di Yeh Kuning dan sebagian lagi di
bawah Ngurah Rai kembali ke Muncar. Keesokan harinya tanggal 4 April
1946, rombongan Ngurah Rai berhasil mendarat di Pulukan untuk seterusnya
menuju Munduk Malang.
Gelombang ketiga, Pasukan M sebagai induk pasukan berangkat pada tanggal
4 April 1946 malam hari. Mereka berangkat dari pelabuhan Banyuwangi
dengan berkekuatan empat peleton. Sasarannya akan mendarat di daerah
Candikusuma. Saat fajar menyingsing, rombongan Pasukan M dipergoki
oleh dua motorboat Belanda yang sedang berpatroli. Terjadilah pertempuran
antara Pasukan M melawan patroli Belanda. Dengan taktik menempel pada
motorboat Belanda, Pasukan M sulit untuk ditembaki Belanda. Sebaliknya,
Pasukan M dapat melemparkan granat-granat tangan ke dek motorboat.
Akhirnya, satu motorboat Belanda terbakar dan tenggelam serta yang satunya
melarikan diri. Setelah berhasil menghancurkan patroli Belanda, Pasukan
memerintahkan untuk putar haluan kembali ke Banyuwangi, sebab arus laut
yang kuat dan kapal Markadi sendiri berlobang-lobang. Dalam perang ini,
pihak Pasukan M gugur dua orang, yakni Sumeh Darsono dan Sidik.
Keesokan harinya, Pasukan M kembali berlayar menuju Bali dan mereka
berhasil melakukan pendaratan di Klatakan, Melaya, dan Candikusuma.
Sesampainya di Bali dilakukan koordinasi dan dibentuk MGGSK (Markas
Gabungan Gerakan Sunda Kecil). Kemudian pada bulan Juli 1946, juga
terjadi pendaratan pasukan tempur yang dipimpin oleh Kapten Saestuhadi.
Setelah itu terjadilah pertempuran di berbagai daerah.
Mula pertama pasukan MGGSK dihadang oleh pasukan Belanda di Klatakan.
Terjadilah pertempuran sengit. Pasukan MGGSK terdesak dan pemimpin yang
gugur, antara lain Kapten Saestuhadi, Kapten Suryadi, dan Letnan Nurhadi.
Selanjutnya, Pasukan M melakukan penyerangan ke berbagai daerah,
antara lain, di Gilimanuk Cekik, Penginuman, Candikusuma, Cupek, Negara,
Sarikuning, Pulukan, Gunungsari, Klatakan, Munduk Malang, Tabanan, dan
Celukan Bawang.
Untuk mengenang perjuangan pasukan kita yang gugur dalam operasi lintas
laut, maka di daerah Cekik, Gilimanuk didirikan monumen yang dinamakan
Monumen Operasi Lintas Laut Banyuwangi-Bali.